Followers

Kamis, 03 Desember 2015

[Book's Review] What If by Morra Quatro





Judul : What If
Penulis : Morra Quatro
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2015

“Apa yang berbeda itu memang tidak pantas bersama?”

Jupiter bertemu Kamila pertama kali di antara langit siang yang terik dan lapangan basket yang lapang. Si Anal. Senior satu tingkat. Asisten dosen kelas semester pendeknya yang selalu berkeras diri bahwa ia bisa membawa tumpukkan lembar kertas mahasiswa dengan tangan kecilnya.

Sejak pertemuan pertama mereka, perbedaan itu sudah jelas terlihat. Tapi, ada sesuatu tentang Jupiter yang membuat Kamila dengan begitu saja menyerahkan nomor teleponnya di antara sunyi-senyap perpustakaan yang menyesakkan. Sejak saat itu, mereka percaya, bahwa tak apa jika berbeda. Tidak apa-apa selama mereka bersama dan dapat mengatasinya.

Tapi, takdir tak berbicara begitu. Sebab ada beberapa hal yang memang tak bisa disatukan, meski sekuat apa pun dikonvergensikan. Perbedaan itu akan mencari jalan divergennya sendiri.

“This is not going to happen, Jupiter. We’re not going to make it.”

“In the end, only kindness matters.
only kindness matters.”

-----WHAT IF BY MORRA QUATRO-----

Saya punya banyak kata untuk buku ini—dan khususnya, untuk Kak Morra. Tapi, saya akan merangkumnya hingga semua kata-kata itu bisa tersampaikan hanya dengan satu wacana bertitel review ini.

What If adalah karya keempat Kak Morra yang saya baca. Bercerita tentang Kamila, Jupiter, dan perbedaa-perbedaan di sekeliling mereka. Untuk para pembaca setianya, saya yakin, segalanya begitu familier dan tidak asing. Bukan tentang ceritanya, atau alur dan endingnya yang (memang juga) familier. Tapi, tentang suasananya. Tentang bagaimana Kak Morra menulis segala detail dan deskripsi dari setiap diksi yang ia pilih. Saya merasakannya, penulisan Kak Morra yang selalu saya anggap mempunyai magis juga nyawa. Penulisan deskripsi yang membawa emosi dan … breath-taking? Heart-warming? Page-turning? Semuanya. Jika ditanya siapa penulis favorit yang pantas menyandang gelar best story-teller, saya tidak akan ragu untuk menyebut Kak Morra sebagai jawaban.

Seperti ketika Kak Morra menjajah emosi saya dengan Will, Langit, dan Nino, Kak Morra melakukannya lagi di sini melalui Jupiter. Jupiter punya sisi yang berbeda dari ketiga tokoh-tokoh pria Kak Morra sebelumnya. Jupiter lebih bad boy, bukan mahasiswa teladan, selengekan, tapi juga punya cinta yang besar. Saya suka ketika dia menatap Kamila dan segala detail yang ada pada dirinya. Tapi, saya juga suka ketika ia tersenyum jahil ketika nama Kamila dikaitkan dengan kata Si Anal. Memang bukan anal yang itu. Tapi, Jupiter selalu punya hal-hal humoris—yang tentu saja tidak menyinggung—ketika istilah itu disebut.

Ah, ya, cerita ini juga berhasil mengubah segala perspektif saya tentang “tidak mau membaca cerita yang mengandung unsur agamis selain Islam”. Jujur saja, saya orang yang sedikit kencang tentang hal itu. Dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya sulit mendapat feel ketika membaca cerita yang tokohnya memiliki kepercayaan di luar kepercayaan saya—maaf. Tapi, entah kenapa What If berbeda. Jupiter berbeda. Saya berhasil jatuh cinta padanya, sealami saya jatuh cinta dengan tokoh-tokoh mengesankan yang lain. Jupiter melakukannya. Kak Morra melakukannya. Jadi, atas segala pelajaran dan perspektif baru yang saya dapat, sudah sepatutnya saya berterima kasih pada Sang Penulis; Terima kasih, Kak Morra.

Sebelum mengutip adegan yang paling saya suka, ada beberapa hal teknis seperti typo, kesalahan penulisan (krabby peaty : krabby patty), kekeliruan pemenggalan (mer-apat : me-rapat), dan kesalahan EYD (tercekat : tersekat). Mungkin, ada beberapa hal yang saya lewatkan, karena keterbatasan akan ketelitian atau terlalu malas untuk mengecek secara detail (karena saya terlampau menikmati ceritanya). Tapi, hanya itu yang saya temukan dan sempat saya catat ;p

So, my favorite part? Ada dua. Pertama, ketika dengan nekatnya Kamila memangkas rambut panjangnya di awal cerita! Demi apa pun, adegan ini langsung saja membuat saya jatuh cinta pada Kamila. Saya suka penggambaran tokoh perempuan yang seperti ini. Kedua, ketika Piter berkata, “Kamila, your hands are small—“ di antara langkah-langkah kakinya menuju loker dosen untuk menaruh berkas-berkas tugas yang seharusnya menjadi tugas Kamila. Saya selalu tersenyum mengingat adegan ini. Dan adegan-adegan permintaan Piter membantu Kamila membawa berkas-berkasnya yang lain. Mungkin, ini klise, tapi Kak Morra mengemasnya dengan berbeda dan … berkesan :)

Saya tidak akan mengomentari tentang ending. Sebab, bagian inilah yang selalu saya suka dari tulisan-tulisan Kak Morra. And, saya tidak akan pernah bosan untuk bilang: selalu ditunggu cerita-cerita cerdas yang lainnya, Kak!

4 of 5 stars for What If

love,
hidya

Rabu, 19 Agustus 2015

Confession


Naruto © Masashi Kishimoto

...

"Aku tidak bisa, Sakura."

Safir itu memandang ragu hijau emerald di hadapannya. Napasnya terembus pelan, menimbulkan resonansi tak nyaman yang muncul di sekitarnya. Sedangkan si pemilik emerald menatapnya redup, melenyapkan kurva senyum di bibir cantiknya yang barusan saja terbentuk bersamaan dengan sebuah pengakuan cinta yang gadis itu lontarkan.

"Tapi ... kenapa tidak bisa, Deidara?"

Yang dipanggil Deidara memalingkan wajah. Helai pirang yang menutupi sebelah matanya ikut melambai ketika wajah itu berpaling. Ia membuang napas diam-diam. Berusaha untuk memikirkan alasan rasional atas penolakan cinta yang ia berikan pada gadis cantik bernama Sakura.

Demi Tuhan, ini pertama kalinya ada seorang gadis yang menyatakan cinta padanya.

Dan sialnya, kenapa gadis itu harus Sakura? Ini akan lebih mudah jika yang menyatakan cinta bukanlah Sakura. Ia tidak akan banyak berpikir untuk segera menyerukan sebuah penolakan. Tapi, sayangnya, kali ini ia tidak bisa. Sebab Sakura adalah teman baiknya. Sahabatnya. Ia harus memikirkan sebuah penolakan yang halus agar tak menyakiti sahabat baiknya itu.

"Deidara?" Sakura kembali menandas. Deidara kembali menoleh, menaut wajah Sakura dalam satu tatapan lamat.

"Kita ini sahabat, Sakura. Aku tidak bisa menerimamu. Relasi pertemanan ini sudah sangat sempurna untukku, dan aku tak ingin mengubahnya sedikit pun. Maafkan aku."

Akhirnya terlontar.

Sebuah penolakan klise yang membuat sudut bibir Deidara tersenyum miris. Sahabat, ya? Lucu sekali penolakanmu, baka.

Tapi Sakura terlihat terluka. Emerald-nya meredup semakin dalam. "Benarkah itu alasannya?" Balasnya berbisik pelan.

Deidara melebarkan netra. "Tentu saja benar, Sakura. Kenapa berbicara seperti itu?"

"Karena melihat sesuatu yang lain di matamu." Kata Sakura lagi, kali ini gadis itu sedikit memaksakan senyum. "Hei, kau mau coba berbohong padaku, Tuan Seniman?"

"Kau ini bicara apa, Sakura? Aku tidak berbohong." Pria berambut pirang itu kembali mengujar, meyakinkan diri bahwa ujarannya meyakinkan sahabat perempuan yang mengaku mencintainya itu.

Sakura mengulurkan tangan, menangkap jemari Deidara di atas meja kantin kampus yang tengah mereka kunjungi itu. "Setidaknya, aku tahu kau menutup-nutupi sesuatu."

"Apa?"

"Katakan saja. Alasanmu yang sejujurnya."

Angin sore berembus pelan. Menguarkan aroma khas musim semi yang mengadiksi. Deidara menatap tautan tangan mereka, namun otak dan pikirannya terbang bersama kata-kata terakhir Sakura. Apa kelihatan? Apa memang benar-benar terlihat kalau ia menutupi sesuatu? Sesuatu yang menjadi alasan sebenarnya mengapa ia tak bisa menerima cinta seorang Haruno Sakura.

Ketika jemari Sakura terangkat untuk menjauhi jemarinya, pada akhirnya Deidara mengangkat wajah. Safirnya kembali ia tautkan pada emerald bening milik Sakura yang kini mulai terlihat menguatkan diri. Ia menggigit bibirnya pelan, menimbang-nimbang apakah keputusannya mengatakan alasan yang sebenarnya akan menyakiti Sakura atau tidak. Sungguh, Deidara tak ingin menyakiti Sakura. Tapi, seperti yang gadis itu katakan, memang akan lebih baik jika ia jujur terhadap Sakura.

Sekaligus, jujur pada dirinya sendiri.

"Baiklah, sepertinya aku memang tak bisa menyembunyikan sesuatu darimu, ya?" Deidara tersenyum miring, membuat Sakura diam-diam merona kecil. "Sebelumnya, aku benar-benar minta maaf, Sakura. Aku tak bisa menerima perasaanmu karena sebuah alasan."

Suara ramai yang terdengar sayup-sayup dari sekeliling mereka tiba-tiba saja seperti berhenti. Menyisakan satu-satunya suara yang berasal dari pengecap Deidara.

Sakura masih memandang ketika akhirnya Deidara kembali berbicara.

"Karena aku sudah mencintai gadis lain."

Sakura tak ingin menangis, namun matanya tetap berkaca-kaca bersamaan dengan ucapannya yang menanggapi pengakuan Deidara tersebut.

"S-siapa?"

.

.

.

"Aosei Rzhevsky Devushka."

.

.

.

Fin.

Happy belated birthday, Acut! Kado (nggak) spesial yang selesai kurang dari 30 menit saja :') aku binguuung mau bikin kayak gimana lagi >< maaf ya cuma bisa kasih ini huhu :"

Sabtu, 04 Juli 2015

Kado Untuk Blogger



HAPPY BIRTHDAY 12TH, GAGASMEDIA!



            Tahun ini, tepat tanggal 4 Juli, salah satu penerbit kesayangan saya merayakan hari jadinya yang ke-12. Yeah, it’s GagasMedia anniversary! Tidak terasa, dua belas tahun sudah Gagas menemani kita para pembaca dengan terbitan buku-bukunya yang semakin keren dari tahun ke tahun. Bagi saya pribadi, Gagas memiliki tempat tersendiri di hati karena novel-novel terbitannya yang khas dan sangat menyenangkan untuk dinikmati.
            Nah, seperti tahun kemarin, di ulang tahunnya kali ini GagasMedia juga memberikan hadiah untuk pembaca setianya dengan tajuk; Kado untuk Blogger. Tapi, kali ini, tugasnya adalah dengan menjawab 12 pertanyaan yang diberikan oleh GagasMedia. Nah, apa saja pertanyaannya dan jawaban versi saya? Ini dia:



1.      Sebutkan 12 judul buku yang paling berkesan setah kamu membacanya!
1.      The Chronicles of Audy: 4R – Orizuka
2.      The Chronicles of Audy: 21 – Orizuka
3.      The Chronicles of Audy: 4/4 – Orizuka
4.      Forgiven – Morra Quatro
5.      Notasi – Morra Quatro
6.      Priceless Moment – Prisca Primasari
7.      Paris: Aline – Prisca Primasari
8.      Refrain – Winna Efendi
9.      Always, Laila – Andi Eriawan
10.  Monsoon (Apa Maksud Setuang Air Teh) – Syahmedi Dean
11.  Antologi Rasa – Ika Natassa
12.  L – Kristy Nelwan

2.      Buku apa yang pernah membuatmu menangis?
Ada beberapa buku yang memiliki kesan tersendiri untuk saya. Dan rata-rata buku tersebut adalah buku yang pernah membuat saya menangis. Di antaranya adalah:
1.      Forgiven karya Morra Quatro. Penulisan yang sederhana, jalan cerita yang istimewa, serta ending yang luar biasa adalah perpaduan novel Forgiven ini. Dengan tulisan khasnya, Kak Morra mampu membawa pembacanya ke dalam rasa sesak dan tembakan telak pada akhir ceritanya. What a special ending :’)


2.      Notasi karya Morra Quatro. Sama seperti Forgiven, novel ini juga membawa perpaduan menyesakkan dengan rangakaian kata yang ditulis Kak Morra. Jalan cerita yang manis ditutup dengan ending yang miris, cukup membuat saya membuang air mata :’)


3.      Always, Laila karya Andi Eriawan. Novel ini memberikan rasa yang berbeda bagi saya. Ditulis oleh seorang laki-laki, rasanya heran sendiri mengapa saya bisa mengakhiri novel ini dengan air mata. Tapi, itulah yang terjadi, penulis memberikan cerita cinta manis antara dua tokoh utamanya, untuk kemudian memberikan akhir yang jauh dari kata bahagia untuk keduanya. And, I cried.


3.      Apa quote dari buku yang kamu ingat dan menginspirasi?
This one: “Akhirnya, ada beberapa hal yang aku nggak ahli ‘kan, K. I can’t tell you how I love you. That’s just–way beyond my vocabulary.” (Forgiven by Morra Quatro page 251)
4.      Siapakah tokoh dalam buku yang ingin kamu pacari? Hayo, berikan alasan kenapa kamu cocok jadi pasangannya?
I think it’s the hardest part to choose one of them (hahaha). Well, tokoh dalam buku yang akhir-akhir ini membayangi saya dan membuat saya susah move on adalah Regan Rashad dari The Chronicles of Audy series karya Orizuka. Saya suka cowok tipe Regan; hangat, dewasa, lembut, pengertian, walau sedikit pelit, tapi, he’s so lovable. Bahkan saya cemburu sama tokoh yang Regan nikahin di novel tersebut ;p

5.      Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak akan kamu lupakan!
Honestly, saya sangat suka sad ending yang mencakar-cakar hati pembaca di akhir cerita. Sebab, saya merasa sebuah cerita happy ending akan lebih mudah saya lupakan sedang sad ending lebih sulit dilupakan. Dan sampai saat ini, novel-novel yang menjadi favorit saya rata-rata memiliki sad ending :)

6.      Buku pertama GagasMedia yang kamu baca, dan kenapa memilih buku itu?
Buku pertama GagasMedia yang saya beli adalah Let Go karya Windhy Puspitadewi. Mungkin sekitar enam tahun yang lalu. Yang membuat saya tertarik adalah cover-nya. Sebab, dari dulu, keunggulan GagasMedia dalam menarik pembaca selalu terletak pada cover-nya.

7.      Dari sekian banyak buku yang kamu punya, apa judul yang menurutmu menarik, kenapa?


Monsoon (Apa Maksud Setuang Air Teh) karya Syahmedi Dean. Saya suka dengan judul yang ‘tidak biasa’ dan membuat yang membaca bertanya-tanya akan judul itu. Saya rasa, judul novel terakhir dalam tetralogi fashion itu sudah mewakili semuanya.

8.      Sekarang, lihat rak bukumu.. cover buku apa yang kamu suka, kenapa?


Refrain karya Winna Efendi. Di masa-masa awal terbitnya, saya yakin, cover Refrain yang simpel dan sepucuk surat biru yang manis ini mampu menarik banyak pembaca. Dan sampai sekarang, saya masih merasa cover Refrain adalah cover yang paling saya sukai.

9.      Tema cerita apa yang kamu sukai, kenapa?
Untuk yang sudah mengenal saya, pasti mereka akan tahu apa jawaban yang akan saya berikan untuk pertanyaan ini. Ya, FRIENDZONE! xD mainstream? Pasaran? Klise? Yeah, but, hingga sekarang, tema ini masih menjadi tema yang saya gilai. Mungkin, karena saya senang membaca cerita tentang bagaimana sebuah cinta dapat muncul dalam sebuah proses bernama persahabatan. Maka dari itu, saya sangat menyukai tema ini.

10.  Siapa penulis yang ingin kamu temui, kalau sudah bertemu, kamu mau apa?
Sebenarnya Alhamdulillah, beberapa penulis yang masuk daftar favorit saya sudah pernah saya temui. Tapi, ada satu lagi yang sampai sekarang belum pernah saya temui: Morra Quatro :’3 mungkin, saya akan bertanya banyak tentang bagaimana cara Kak Morra merangkai kata-kata yang ia tulis di dalam novelnya. Karena saya selalu percaya, tulisan Kak Morra memiliki semacam magis yang membuat perasaan pembacanya menghangat ketika membaca itu. Semoga, someday, kita bisa ketemu, ya, Kak :D

11.  Lebih suka baca e-book (buku digital) atau buku cetak (kertas), kenapa?
No doubt, saya lebih suka buku cetak. Karena membaca e-book sendiri kurang nyaman untuk saya. Dan hingga sekarang, saya belum pernah dengan sengaja membeli novel incaran yang berformat e-book.

12.  Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia menurutmu!
If reading is hot and writing is cool, so, GagasMedia is extraordinary!

            That’s all. Sebuah rangkuman 12 jawaban dari pertanyaan yang diberikan GagasMedia. Yeay! Nah, sekali lagi, Happy 12th birthday, GagasMedia! Semoga ke depannya selalu menjadi publisher kece dan keren! Salam #TerusBergegas (^^)9

Hidya

Selasa, 30 Juni 2015

[Day 30 #NulisRandom2015] FrĆ¼hling: Chapter 30


FrĆ¼hling;
.
.
Spring
.
.
 Chapter 30: New Spring
.
.
            Beberapa orang datang dan pergi dalam kehidupannya, membawa setumpuk memoar serta kenangan pahit manis dalam sudut ingatan terdalamnya. Mereka memberi senyum, haru, air mata, dan segala rasa taksa yang hanya akan Kanae genggam erat-erat. Tak ubahnya hari yang terus berganti, juga musim yang selalu bersubtitusi.
            Tapi, ada beberapa orang yang memutuskan tinggal. Memutuskan hanya memberi senyum tanpa air mata juga rasa sakit. Membawa kenangan manis tanpa ada rasa pahit. Juga, membawa segenggam cinta juga bermacam janji bahagia.
            Deisuke Akihiro salah satunya.
            Seribu kali Kanae mengingat-ingat, tak satu pun kenangan menyedihkan terbersit dari dalam diri pria itu. Ia membawa sejuta percaya diri, merekahkan senyuman, menepis kegalauan, serta rasa-rasa tak kasat mata yang terkadang seringkali Kanae ragukan. Keteguhannya, senyum sehangat mataharinya, luapan perasaannya, betapa seluruhnya terangkum sempurna.
            Dan ia hanyalah seorang gadis biasa. Yang merasa spesial sebab Akihiro memilihnya dibandingkan dengan ratusan ribu gadis-gadis lainnya di luar sana. Pria itu memutuskan untuk menambatkan hati padanya, mengucap kata sakral itu untuknya, membawa segala rentetan laku manis untuk dikecapnya.
            Yang membuat Akihiro berbeda bagi Kanae adalah, pria itu mampu bertahan dalam cintanya ketika kenyataan tak wajar tentang dirinya beberapa waktu lalu terungkap. Ketika Akihiro, menemukan ia dan Shiro terlibat dalam sebuah skandal yang seharusnya membuat ia mundur, tetapi yang pria itu lakukan justru bertahan. Dengan segala perasaan yang bahkan sama sekali tidak berkurang.
            “Kau tahu, aku pernah sangat membenci musim semi.”
            Kanae mengujar di sela keheningan mereka. Hamparan kendaraan kota Tokyo yang berkelap-kelip terlihat dari hamparan bukit yang tengah ia singgahi saat ini. Angin malam berembus, membawa serta rasa dingin yang menyengat dan aroma-aroma bunga sakura yang mulai menipis.
            “Aku tahu.” Akihiro menjawabnya pelan.
            Suara klakson bersahutan, menjadi latar belakang yang terdengar sesekali di antara gemersik dedaunan yang disapu angin. Bulan bersinar dengan terang, walau tak nampak satu pun bintang di atas sana.
            “Dan kau pasti juga tahu, aku mulai menyukainya.”
            Sekali lagi, sudut-sudut bibir terangkat. Semakin lama semakin lebar setiap detiknya, membuat tanggapan ujarannya tak lagi terdengar sepelan yang pertama. “Aku tahu,” katanya. “Aku tahu, Kanae.”
            “Apa yang tidak kau tahu tentangku?” Ucapan itu terumbar bersama dengan senyum tipis yang akhirnya menyambangi bibir gadis itu. Melihat pria di sebelahnya tersenyum-senyum seperti itu, membuatnya tak tahan terus-menerus menyembunyikan senyum dalam satu kuluman.
            Satu tarikan pelan, tubuh Kanae sudah merapat pada sisinya. Kepalanya disandarkan pada bahu pria itu. Lagi-lagi rasa hangat familier menyambanginya. Citrus mendominasi, menepis pelan-pelan aroma musim semi dan bunga sakura yang beberapa saat tadi hadir di sela-sela hening. “Aku belum tahu perasaanmu padaku, kalau kau mau tahu.” Bisiknya.
            Kanae merasa sesuatu dalam dadanya meledak-ledak. Ia memejamkan mata, kedua belah pipinya ikut menghangat, menepis angin dingin dan tetek bengek udara malam yang menggigit-gigit. Ia terus ingin seperti ini. Selamanya. Bersama entitas yang sama, suasana yang sama, dan aroma yang sama; kenyamanan yang sama.
            Maka, apa pria itu benar-benar masih meragukan perasaannya?
            Dasar Akihiro-baka.
            “Akihiro,”
            “Hm?”
            “Kau bodoh.”
            “Hei—!”
            Kikikan pelan terdengar dari gadis di pelukannya. Akihiro mengerutkan wajah sebelum akhirnya si gadis kembali berbicara.
            “Tapi, kau si bodoh yang aku cintai.”
            “…”
            “Aku juga mencintaimu.”
            “…”
            Bersama malam yang semakin melarut, musim semi berada di penghujung harinya. Kanae mendapat gagasan baru dalam musim seminya kali ini, tak ada lagi rasa benci yang berlarut-larut, hanya ada rasa cinta yang sama sekali tak menuntut. Segalanya berjalan seolah urut dan sudah saling terpaut.
            Seperti bibirnya yang tiba-tiba saja sudah berada dalam tautan bibir Akihiro.
.
.
Watashi wa haru ga nan anata ni yatte mitaidesu sakura no ki.
(I want to do to you what spring does with the cherry blossom trees.)
—Pablo Neruda
.
.
End.

Dari sebuah keraguan, akhirnya saya sampai di sini :D really, menyenangkan sekali mengeksplor tulisan setiap hari seperti ini. Walau saya jadi merasa seperti dikejar deadline setiap hari, tapi saya jadi selalu punya alasan untuk memikirkan gagasan apa yang harus saya tulis setiap harinya. Ini bagus sekali untuk merangsang refleks pengimajinasian dan ide-ide yang biasanya terbungkam. Karena seolah berada di bawah tekanan, akhirnya mereka pun mau tak mau terpaksa datang! Hahaha. Btw, terima kasih untuk NulisBuku Community yang sudah mengadakan event ini. Benar-benar bermanfaat untuk penulis amatir yang sok-sokan terkena writer's block atau apalah itu. Karena pada dasarnya, writer's block hanya akan datang ketika kalian tidak menetapkan deadline. Kalau sudah ada deadline, pasti mau tak mau kita keluar dari zona tersebut. Mengerjakannya untuk kemudian menyelesaikannya.
Doakan saya, semoga dengan berakhirnya NulisRandom ini, tidak sekaligus mengakhiri kebiasaan nulis setiap hari yang saya lakoni 30 hari ini, ya :'D
Dan terakhir, terima kasih sebesar-besarnya untuk kalian yang masih mau mengikuti, membaca, atau sekadar mampir untuk mengintip Fruhling ini. Especially yang meninggalkan jejak :* Cerita ini benar-benar cerita spontan yang setiap alurnya hanya terpikir ketika saya sedang menulis saja. Benar-benar tidak saya rencanakan. Dan itu sangat menyenangkan :'D sekali lagi, terima kasih banyak /:D/

Senin, 29 Juni 2015

[Day 29 #NulisRandom2015] FrĆ¼hling: Chapter 29


FrĆ¼hling;
.
.
Spring
.
.
  Chapter 29: Love
.
.
            “Keberatan jika aku menculikmu sore ini?”
            Kalimat itu diucapkan oleh pria di hadapannya dengan konotasi yang terlampau santai. Tanpa tatapan mata yang lebih lama, atau bahkan emotif tinggi dalam nadanya. Hanya ujaran sambil lalu. Hanya saja, terkesan tak main-main.
            “Terakhir kali kuingat, kau tidak meminta izin dulu di penculikan-penculikanmu sebelumnya.”
            Maka, gadis itu—Kanae, membalasnya seperti itu.
            Suara tawa terdengar mendominasi kemudian, di antara helaan napas dan bunyi alat makan yang mereka gunakan. Hari masih siang, namun udara tetap sejuk. Akihiro mengajaknya makan siang di sebuah tempat makan dekat kantor yang menyediakan tempat makan yang terkesan seperti outdoor. Mereka dikelilingi pohon sakura yang mekar, membuat Kanae tersadar musim semi telah mencapai puncaknya.
            “Biasanya, kan, kencan. Kali ini, aku ingin menculikmu.” Kata Akihiro lagi di sela suapannya. Pria itu tersenyum lembut, membuat Kanae dapat melihat sinar berkilau yang menyenangkan dari mata sewarna madunya.
            Perut Kanae tiba-tiba saja berdesir aneh. Geli yang menyenangkan. Segala nafsu makannya hilang begitu saja. Ia hanya ingin tersenyum, tersenyum, dan tersenyum.
            Tak perlu dipertanyakan lagi, bagaimana efek Akihiro bagi kehidupannya akhir-akhir ini. Jika ditanya tentang perasaannya, Kanae tidak akan berkelit lagi. Akihiro telah menjadi entitas berharga yang penting untuknya. Akihiro menjadi seseorang yang ia harapkan akan selalu dapat berbagi bersama. Akihiro menepis perasaannya pada Shiro terdahulu, membawa perasaan baru yang nyatanya lebih dirasa menyenangkan untuk gadis itu.
            Singkatnya, Akihiro membuatnya…
            Astaga. Kanae menghentikan monolognya sendiri. Ini sudah terlalu jauh. Maka ia hanya tersenyum, menyimpan lagi rapat-rapat istilah terakhir yang sempat ia pikirkan barusan.
            Benarkah? Benarkah istilah itu sesuai untuk gambaran perasaannya pada Akihiro?
            “Kanae,” tukas Akihiro pelan namun mampu membuat Kanae sedikit tersentak. Wajahnya memandang lurus, kali ini, terlihat begitu serius. Tatapannya menyiratkan bahwa ia ingin berbicara sesuatu yang penting. “Setelah kupikir-pikir, aku belum pernah mengatakan ini, ya?”
            Kanae mengerutkan alis, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. Mengatakan apa?
            Sekali lagi, Akihiro tersenyum, mengulurkan tangan untuk meraih tangan Kanae dan menggenggamnya erat-erat sebelum kembali berbicara.
            “Aku mencintaimu.”

To Be Continued.

Yaampun, udah hari ke-29 :') terharuuuu. Btw, satu chapter lagi. Semoga menjadi akhir yang memuaskan :) story only 319 words for this chapter.