Frühling;
.
.
—Spring
.
.
Chapter
7: Secret
.
.
Ketika
Kanae datang dengan langkah-langkah cepat diiringi suara ketukan heels-nya yang terlampau tinggi, Akihiro
tahu itu ditujukan untuknya. Untuk ia perhatikan sehingga atensinya terebut
dengan penuh. Untuk memberikan makna tutur ilokusi agar dirinya menghampiri
gadis itu dengan cepat tanpa pikir ulang lagi.
Akihiro
melakukannya, balas berjalan mendahului Kanae dan mengedikan kepala agar gadis
itu mengikutinya. Setidaknya, ia laki-laki. Ia tidak mau didominasi, dan hanya
mau mendominasi. Dibanding menunggu Kanae yang memapahnya, lebih baik ia lebih
dulu bertindak membawa gadis itu pergi dari sini.
Mungkin
untuk membicarakan hal itu. Hal yang
seharusnya tak pernah diketahui Akihiro.
“Kau
boleh mencemoohku dan kakakku, kalau kau mau.”
Itu
yang pertama kali gadis itu katakan saat mereka sampai di rooftop. Kanae berdiri di tepi dinding-dinding batu. Memunggungi
Akihiro yang bersedekap—dan bodohnya
tetap terpikat pada sosok itu.
Meski
sebuah rahasia telah ia lihat.
Rahasia
yang seharusnya membuat Akhiro segan.
Lalu,
pria itu melangkah mendekat, untuk menghampirinya dan kemudian berdiri di
sampingnya. Ia melihat mata oniks Kanae terpaut pada kumulonimbus di atas sana.
Harum rumput liar menyambanginya—entah
dari mana. Harum khas musim semi.
“Kenapa
harus mencemooh?” kata-kata itu terungkap kemudian. Kata tulus yang memang
benar ingin Akihiro tanyakan.
Kenapa harus mencemooh?
“Karena kau
melihatnya. Ketidakwajaran itu.”
Balas
Kanae kemudian. Nadanya terdengar mulai gamang, matanya tetap melekat pada
awan.
Akihiro
menatapnya, menatap wajahnya yang memburam, menatap rambut pendeknya yang
berterbangan tertiup angin musim semi, menatap mata gelapnya yang berpendar
redup.
Dan
ia sadar, gadis itu hanya jatuh cinta. Tak ada yang salah dari jatuh cinta,
hanya objeknya yang salah.
Maka,
Akihiro mengatakan itu pada Kanae. “Kau hanya jatuh cinta. Tak ada perlunya aku
mencemooh, kan?”
Bibir
Kanae terangkat sinis, “ya, jatuh cinta dengan kakak kandungku.”
Angin
kembali berembus. Aroma rerumputan liar di bawah sana semakin menyengat, saling
berganti dengan aroma Kanae, yang seharum bunga violet.
“Walau
begitu, kau beruntung. Setidaknya kakakmu juga membalas cintamu, kan? Kalau
harus menanggung dosa, kalian bisa menanggungnya bersama-sama.” Balas Akihiro
kemudian.
Kanae
terpaku sebentar, oniksnya ia lirikkan singkat ke arah pria di sebelahnya
sebelum akhirnya mengubah posisi untuk menghadap lurus pria itu.
“Jangan
bersikap seolah mengerti. Semua orang tahu yang kami lakukan ini tidak wajar.
Akan lebih baik jika kau mencemooh dengan kejujuranmu dibanding bersikap
mengerti dengan kemunafikanmu.”
Hening.
Hingga
Akihiro dapat mendengar koakan burung-burung jauh di atas sana.
Pria
itu tersenyum, sinis. Ia mendekat satu langkah pada gadis keras kepala itu—meski tahu jarak mereka sudah terlalu
dekat. Sebelah tangannya terangkat, menyentuh helai hitam di sisi wajahnya.
Kemudian, turun ke sisi wajahnya. Membuat tubuh Kanae bergetar sejenak.
“Buktikan
padaku kalau aku tidak jujur, Kanae.” Untuk pertama kalinya, nama itu terujar
dari bibir Akihiro.
Kanae
tak melepaskan pandangannya pada Akihiro, menatap raut pria itu dalam-dalam.
Mencari-cari kebohongan dan cemoohan tersembunyi, yang sialnya tak ia temukan.
Justru kejujuran itulah yang ia dapatkan.
Hingga
akhirnya ia memutus kontak mata, berpaling dengan mengibaskan tangan. Mencoba
menghindari kejujuran mata Akihiro. “Lupakan,” katanya. “Karena kau tak akan
mengerti bagaimana rasanya jadi orang yang mencintai kakak kandungnya sendiri.”
Langkah
itu hampir mencapai pintu ketika Akihiro balas mengujar.
“Setidaknya
aku mengerti bagaimana rasanya mencintai gadis yang mencintai kakak kandungnya
sendiri.”
To
Be Continued.
512 words story only! Maaaaak tugas saya banyak banget T.T *menggelung di buku semantik*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar