Frühling;
.
.
—Spring
.
.
Chapter
21: Change
.
.
Belum seratus hari aku mengenalmu,
belum pula kita saling terbiasa dalam sebuah ikatan statis yang kasual. Namun,
senyummu memaksaku menerima kehadiranmu tanpa ragu, menghalau ranjau yang sudah
sejak lama aku pasang ketika kedatangan orang baru. Lakumu mematikan segala
asing yang hinggap begitu sedikit, membuang segenap angkuh yang selama ini
hinggap hingga segala tulang-belulangku. Entah bagaimana caranya, kau membuatku
terbuka, pada segala kata dan rupa yang seringnya kau hadirkan.
Di hari pertama kau bilang cinta.
Dan saat itu pula aku merasa kau berbeda. Hari-hari berikutnya kau terus
berusaha, seakan kepongahanku hanyalah kerikil kecil yang tak seberapa.
Dirimu mengacaukan logikaku. Juga
mendiferensiasikan rasa pada Nii-san[1]
yang telah lama kugenggam erat. Begitu erat hingga rasanya tak ingin kulepas.
Menyubtitusi kestatisan yang telah lama kami rasa. Meluruskan segala hati yang
kenyataannya tak wajar. Karenamu, segala perilakumu, juga senyum-senyummu.
Kau, Akihiro. Kau berani mengubah
sudut pandangku. Pada segala cinta yang tak ingin kuubah rasanya. Kau berani
menembus segala zona nyamanku dengan Nii-san yang kami tutupi sewajar mungkin.
Kau, kau memberi cahaya baru, rasa baru, warna baru, dan hari-hari baru. Dan
kau, memberikan kesederhanaan baru pada cinta dalam bentuk kesederhanaan yang
indah.
Akihiro, bagaimana caranya aku
mengatakan padamu, juga pada Nii-san, bahwa hati ini telah berubah? Bahwa rasa
ini tak lagi berlabuh di tempat yang lama. Melainkan telah menaut pada satu
hati yang baru.
Dan, Nii-san, aku minta maaf.
Maafkan aku, maafkan aku.
Mungkin, pada akhirnya aku bisa
belajar menjadi seorang adik yang baik bagimu.
Maafkan aku, dan … terima kasih.
.
.
Kanae
menarik netra dari gumpalan kumulonimbus di atas sana, sekaligus menarik diri
dari monolog tak terarah yang barusan saja melekat di kepalanya. Matanya
melirik pintu roof top.
Menunggu-nunggu dua orang yang kini menjadi entitas berarti baginya keluar dari
tempat itu. Entahlah, dirinya tak ingin menerka-nerka.
Butuh
beberapa detik ia berhasil keluar dari kemelut pikirannya. Hela napas ia
embuskan dalam-dalam. Dan saat itulah, ia melihat Shiro keluar dari pintu itu
dengan langkah lebar yang tergesa—seperti penuh dengan beban.
Belum
sempat ia memanggil, Shiro sudah lebih dulu menangkap pandangannya. Pria itu
tersenyum kecil—senyum dingin khas Shiro. Langkahnya mendekat, membuat Kanae
bertanya-tanya apa yang terjadi selama mereka (Shiro dan Akihiro) berbicara di
sana. Ketika sampai di hadapan Kanae, Shiro mengangkat sebelah tangan untuk
menyentuh sisi wajah Kanae. Membelainya lembut di sana.
“Apapun
yang terjadi, kau tetap adikku.”
Dengan
satu kalimat itu, segalanya terasa melegakan bagi Kanae.
To
Be Continued.
[1]
Kakak laki-laki
Nah, yang di atas itu monolognya Kanae. Entah kenapa lagi kepengin bikin pake 1st pov gitu, jadinya bermonologlah dia :3 it's day 21, right? 394 for today! Thanku for all constructive critism, yaaa :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar