Followers

Jumat, 19 Juni 2015

[Day 19 #NulisRandom2015] Frühling: Chapter 19


Frühling;
.
.
Spring
.
.
 Chapter 19: Unthinkable
.
.
            “Kalau mereka berpisah, bagaimana dengan kita?”
            “Kita akan pindah, dan sampai aku bisa mengurus perusahaan Otou-san[1] dengan benar, aku akan membeli rumah.”
            “Kau tahu Otou-san dan Okaa-san[2] tak akan setuju, bukan?”
            “Kita sudah memberikan kebebasan untuk mereka berpisah, sekarang saatnya mereka memberikan kebebasan untuk kita, Kanae.”
            “Nii-san[3]…”
            “Ssst, sudahlah. Selama bersamaku, kau akan baik-baik saja.”
            “…”
            “…”
            “Terima kasih, Nii-san … terima kasih.”
            “…tak apa, aku mencintaimu.”
.
.
            Udara semakin terasa mendingin di pertengahan musim semi. Meski begitu, pohon sakura semakin mekar, hanami[4] di mana-mana, membawa aroma tersendiri bagi masyarakat Jepang yang menyukai musim paling berwarna ini.
            Seperti Kanae.
            “Orangtuaku bercerai ketika musim semi.” Kanae tersenyum sedih ketika mengucapkannya. Tangannya terulur ke atas, seolah-olah ingin menangkup seluruh kelopak sakura yang gugur di atas mereka dengan telapak tangan mungilnya. Akihiro terduduk di sebelahnya, menatapnya dalam seakan tak berniat melepas pandangan barang sejenak. Bahkan untuk melirik bunga-bunga sakura yang cantik. Baginya, Kanae lebih cantik dari apapun.
            “Padahal aku selalu suka musim semi. Indah. Berwarna-warni. Menenangkan.” Lanjut gadis itu lagi.
            “Kau tahu? Musim semi dan kau memang kombinasi yang sangat pas, Kanae.” Akihiro kemudian menandas, kini memalingkan wajah untuk sekadar menyembunyikan rona merah yang muncul di kedua belah pipinya. Pria itu tersenyum. Ia benar-benar seperti remaja ingusan yang baru pertama kali mengalami jatuh cinta. Sial.
            “Kenapa?”
            Dan Akihiro tak pernah mengharapkan jawaban defensif itu. Atau bahkan retoris? Karena mungkin, semua orang pun tahu musim semi yang dikombinasikan dengan Kanae akan menghasilkan pemandangan yang begitu indah. Atau setidaknya, begitulah orang-orang yang tengah mabuk asmara mengutarakannya.
            “Karena memanjakan mataku, oh, tentu saja.” Pria itu menjawab dengan seringainya. Menggoda.
            Kanae tertawa. Memukul pelan bahu Akihiro yang lebar—juga hangat, ia yakin itu. Wajahnya menghangat. Peduli setan jika rupa pipinya sudah merona merah. Ia tak peduli.
            “Akihiro,”
            Akihiro selalu senang mendengar Kanae menyebut namanya. Ada gelenyar hangat yang memenuhi rongga perutnya. Cataplexy. Suara gadis itu seolah berubah menjadi lebih merdu ketika khusus mengucapkan namanya.
            “Hm?”
            “Semalam Nii-san memergokiku pulang denganmu.”
            “Oh ya? Apa katanya?”
            “Tidak berkata apa-apa. Ia hanya bilang … daisuki da[5].”
            Senyum Akihiro perlahan menguap. Pria itu melirik gadis di sampingnya yang tengah menatap jauh direksi di depan sana, keluarga-keluarga penuh sukacita yang juga sedang berhanami. Matanya terlihat sedih, atau menyesal—Akihiro terlalu takut untuk menentukannya.
            Ia belum pernah memikirkan seberapa jauh dan serius perasaan Shiro terhadap Kanae, atau perasaan Kanae terhadap Shiro, atau bahkan perasaan keduanya terhadap satu sama lain. Ia hanya tahu jika ada relasi tak wajar antar kedua saudara tersebut. Melupakan bahwa ia sebenarnya tengah berada dalam situasi yang sulit dalam mencintai.
            Tidak naïf, Akihiro tahu akhir-akhir ini Kanae mulai membuka diri padanya. Gadis itu lebih banyak tersenyum, bahkan tak lagi menolak dengan sentuhan-sentuhan kecil yang ia berikan. Tapi, ia lupa akan perasaan Kanae terhadap Shiro. Apa perasaan itu masih tetap ada sementara gadis itu sudah mulai menunjukkan respon positif akan segala tindakannya? Atau sudah berkurang? Atau bahkan sudah hilang sama sekali?
            Begitupun terhadap Shiro. Semenjak skandal ciuman antara Shiro dan Kanae yang Akihiro lihat, bahkan ia sama sekali belum pernah bertemu dengan Shiro lagi.
            Bagaimana ia mau terus maju jika nyatanya ada banyak sekali batu kerikil dan rintangan yang belum dibereskan?
            Bagaimana ia bisa mendapatkan hati Kanae, jika pada kenyataannya, Shiro masih membayang-bayangi sosok Kanae.
            Maka, satu-satunya cara adalah—
            “Kanae,”
            “Hm?”
            “Aku ingin bertemu dengan Shiro. Boleh?”
            —membereskan segala relasi taksa antara Shiro dan Kanae terlebih dahulu.

To Be Continued.


[1] Ayah
[2] Ibu
[3] Kakak (untuk kakak laki-laki)
[4] Piknik di bawah pohon sakura
[5] Aku menyayangimu

di atas, saya kutip sedikit scene flashback antara Shiro dan Kanae. Sebenarnya saya ingin menuliskannya secara eksplisit flashback supaya pembaca bisa benar-benar mengerti bagaimana dalamnya hubungan antara Shiro-Kanae. Bagaimana mereka benar-benar pernah saling jatuh cinta. Tapi, karena keterbatasan any stuff and things (lol) jadi sepertinya saya cuma bisa memberikan flashback implisit dengan dialog seperti itu saja :') dan, sudah hari ke-19 ternyata, enjoy 572 unthinkable chapter ;p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar