Frühling;
.
.
—Spring
.
.
Chapter
19: Unthinkable
.
.
“Kalau mereka berpisah, bagaimana
dengan kita?”
“Kita akan pindah, dan sampai aku
bisa mengurus perusahaan Otou-san[1]
dengan benar, aku akan membeli rumah.”
“Kau tahu Otou-san dan Okaa-san[2]
tak akan setuju, bukan?”
“Kita sudah memberikan kebebasan
untuk mereka berpisah, sekarang saatnya mereka memberikan kebebasan untuk kita,
Kanae.”
“Nii-san[3]…”
“Ssst, sudahlah. Selama bersamaku,
kau akan baik-baik saja.”
“…”
“…”
“Terima kasih, Nii-san … terima
kasih.”
“…tak apa, aku mencintaimu.”
.
.
Udara
semakin terasa mendingin di pertengahan musim semi. Meski begitu, pohon sakura
semakin mekar, hanami[4]
di mana-mana, membawa aroma tersendiri bagi masyarakat Jepang yang menyukai
musim paling berwarna ini.
Seperti
Kanae.
“Orangtuaku
bercerai ketika musim semi.” Kanae tersenyum sedih ketika mengucapkannya.
Tangannya terulur ke atas, seolah-olah ingin menangkup seluruh kelopak sakura
yang gugur di atas mereka dengan telapak tangan mungilnya. Akihiro terduduk di
sebelahnya, menatapnya dalam seakan tak berniat melepas pandangan barang
sejenak. Bahkan untuk melirik bunga-bunga sakura yang cantik. Baginya, Kanae
lebih cantik dari apapun.
“Padahal
aku selalu suka musim semi. Indah. Berwarna-warni. Menenangkan.” Lanjut gadis
itu lagi.
“Kau
tahu? Musim semi dan kau memang kombinasi yang sangat pas, Kanae.” Akihiro
kemudian menandas, kini memalingkan wajah untuk sekadar menyembunyikan rona
merah yang muncul di kedua belah pipinya. Pria itu tersenyum. Ia benar-benar
seperti remaja ingusan yang baru pertama kali mengalami jatuh cinta. Sial.
“Kenapa?”
Dan
Akihiro tak pernah mengharapkan jawaban defensif itu. Atau bahkan retoris?
Karena mungkin, semua orang pun tahu musim semi yang dikombinasikan dengan
Kanae akan menghasilkan pemandangan yang begitu indah. Atau setidaknya,
begitulah orang-orang yang tengah mabuk asmara mengutarakannya.
“Karena
memanjakan mataku, oh, tentu saja.” Pria itu menjawab dengan seringainya.
Menggoda.
Kanae
tertawa. Memukul pelan bahu Akihiro yang lebar—juga hangat, ia yakin itu.
Wajahnya menghangat. Peduli setan jika rupa pipinya sudah merona merah. Ia tak
peduli.
“Akihiro,”
Akihiro
selalu senang mendengar Kanae menyebut namanya. Ada gelenyar hangat yang
memenuhi rongga perutnya. Cataplexy. Suara
gadis itu seolah berubah menjadi lebih merdu ketika khusus mengucapkan namanya.
“Hm?”
“Semalam
Nii-san memergokiku pulang denganmu.”
“Oh
ya? Apa katanya?”
“Tidak
berkata apa-apa. Ia hanya bilang … daisuki
da[5].”
Senyum
Akihiro perlahan menguap. Pria itu melirik gadis di sampingnya yang tengah
menatap jauh direksi di depan sana, keluarga-keluarga penuh sukacita yang juga
sedang berhanami. Matanya terlihat
sedih, atau menyesal—Akihiro terlalu takut untuk menentukannya.
Ia
belum pernah memikirkan seberapa jauh dan serius perasaan Shiro terhadap Kanae,
atau perasaan Kanae terhadap Shiro, atau bahkan perasaan keduanya terhadap satu
sama lain. Ia hanya tahu jika ada relasi tak wajar antar kedua saudara
tersebut. Melupakan bahwa ia sebenarnya tengah berada dalam situasi yang sulit
dalam mencintai.
Tidak
naïf, Akihiro tahu akhir-akhir ini Kanae mulai membuka diri padanya. Gadis itu
lebih banyak tersenyum, bahkan tak lagi menolak dengan sentuhan-sentuhan kecil
yang ia berikan. Tapi, ia lupa akan perasaan Kanae terhadap Shiro. Apa perasaan
itu masih tetap ada sementara gadis itu sudah mulai menunjukkan respon positif
akan segala tindakannya? Atau sudah berkurang? Atau bahkan sudah hilang sama
sekali?
Begitupun
terhadap Shiro. Semenjak skandal ciuman antara Shiro dan Kanae yang Akihiro
lihat, bahkan ia sama sekali belum pernah bertemu dengan Shiro lagi.
Bagaimana
ia mau terus maju jika nyatanya ada banyak sekali batu kerikil dan rintangan
yang belum dibereskan?
Bagaimana
ia bisa mendapatkan hati Kanae, jika pada kenyataannya, Shiro masih
membayang-bayangi sosok Kanae.
Maka,
satu-satunya cara adalah—
“Kanae,”
“Hm?”
“Aku
ingin bertemu dengan Shiro. Boleh?”
—membereskan
segala relasi taksa antara Shiro dan Kanae terlebih dahulu.
To
Be Continued.
[1]
Ayah
[2]
Ibu
[3]
Kakak (untuk kakak laki-laki)
[4]
Piknik di bawah pohon sakura
[5]
Aku menyayangimu
di atas, saya kutip sedikit scene flashback antara Shiro dan Kanae. Sebenarnya saya ingin menuliskannya secara eksplisit flashback supaya pembaca bisa benar-benar mengerti bagaimana dalamnya hubungan antara Shiro-Kanae. Bagaimana mereka benar-benar pernah saling jatuh cinta. Tapi, karena keterbatasan any stuff and things (lol) jadi sepertinya saya cuma bisa memberikan flashback implisit dengan dialog seperti itu saja :') dan, sudah hari ke-19 ternyata, enjoy 572 unthinkable chapter ;p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar