Frühling;
.
.
—Spring
.
.
Chapter
18: Decision
.
.
“Tadaima[1]”
Bisik
Kanae seraya membuka pintu dengan gerakan pelan, berusaha sebisa mungkin untuk
tidak menimbulkan suara sedikit pun. Heels-nya
telah berpindah tempat ke tangan kanannya. Ia tenteng demi meredam segala suara
ketukan di ruangan sunyi yang remang ini.
Ketika
langkahnya sudah sampai di depan pintu kamar, ia menghela napas. Mungkin
kakaknya sedang sibuk di kamar atau di ruang kerja. Kanae tak tahu akan
beralasan apa jika bertemu dengan Shiro dalam keadaan ini. Ia belum menyiapkan
sanggahan atau bahkan karangan cerita yang sekiranya tak menimbulkan kecurigaan
bagi Shiro.
Tangannya
memutar kenop pintu, perasaan lega sekali lagi menyambangi rongga dadanya.
Aroma lili yang familier, khas dirinya, semua itu membuatnya tenang seketika.
Sembari masuk, tangan Kanae meraba dinding untuk mencari saklar lampu dan
menyalakannya. Ia ingin berendam. Aromaterapi mungkin akan menjadi obat yang
mujarab untuk—
“Okaeri[2],
Kanae.”
—astaga.
Kanae
mematung. Suara itu … mengapa Shiro ada di kamarnya? Kenapa…?
“Tak
biasanya pulang selarut ini.”
Kanae
perlahan menoleh. Menatap mata hitam kakaknya dengan tatapan ragu. “Nii-san[3],
aku…”
Shiro
bangkit dari tepi ranjang Kanae. Pria itu perlahan melangkah mendekat, tak
sedetik pun tatapannya terlepas dari netra oniks Kanae. Entah bagaimana
caranya, aura Shiro selalu mampu mengintimidasinya. Tatapan mata yang tak
sehitam milik Kanae itu mampu menatap lebih tajam dari apapun juga. Jika
dirinya adalah lilin, mungkin Kanae sudah melebur karena tatapan itu.
Tepat
ketika jarak mereka terpisah satu langkah, Shiro berhenti. “Dengar, Kanae, aku
tak pernah membuat batasan jam malam untukmu. Aku juga tak pernah membatasi
dengan siapa saja kau harus pergi.” Shiro mengulurkan tangan, melepas jas hitam
yang mengurung tubuh mungil adiknya. “Tapi—terlepas dari hal yang mungkin
sedang kita jalani, aku tetap kakakmu. Dan aku khawatir jika tak mendengar
kabar apapun tentangmu selarut ini.
Kanae
mendongak, berusaha untuk balas menatap mata Shiro dengan keyakinan penuh. “Maaf
tidak mengabarkanmu, Nii-san. Tapi,
lain kali, aku pasti akan melakukannya.”
Tak
ada yang berbicara lagi ketika akhirnya Shiro memutuskan untuk mundur dan
melangkah pergi dari kamar Kanae. Namun, ketika langkahnya sampai tepat di
pintu kamar itu, Shiro kembali mengujar.
“Deisuke
Akihiro, ya?”
Secepat
kilat, Kanae menoleh. Wajahnya terlihat panik ketika melihat sebuah senyum sedih
di wajah kakaknya itu.
“Nii-san, aku … aku mohon jangan
melakukan apapun pada Akihiro. Maksudku … ia tak melakukan apapun padaku. Sungguh.
A-aku … aku senang. Ia membuatku senang, Nii-san.”
Kalimat terakhir diucapkan Kanae dengan bisikan kecil. Ia takut. Ia takut Shiro
akan membuat perhitungan pada Akihiro. Kanae tahu, Shiro selalu membuat
perhitungan pada orang yang kiranya mengganggu orang-orang yang ia sayang.
Terlebih pada dirinya, Shiro begitu protektif.
“Sepertinya
begitu.” balas Shiro pelan. Senyum sedih belum hilang dari raut wajahnya.
Kanae
hanya mampu menunduk menutupi kegelisahannya. Mungkin, mungkin Shiro malah
merasa terkhianati karenanya. Mereka yang selama ini mengklaim diri
masing-masing sebagai pemiliki, kini, Kanae malah merasa ingin keluar dari
ikatan ini.
Ya,
untuk pertama kalinya, dalam hati Kanae memutuskan ingin meluruskan kembali
hubungan tak wajar antara dirinya dan Shiro.
Tapi,
Shiro tak berbicara apa-apa lagi. Kecuali sebaris klausa yang tertandas
bersamaan dengan suara pintu yang tertutup pelan.
“Oyasumi, Kanae. Daisuki da[4].”
To
Be Continued.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
BalasHapusPenggunaan istilah jepangnya pas. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Yeay syukurlah. Terima kasih^^
Hapus