Frühling;
.
.
—Spring
.
.
Chapter
14: Answer
.
.
Langkah
tergesa, netra memandang awas, raut wajah gugup.
Lift sudah berada di depan Kanae ketika
akhirnya gadis itu menghembuskan napasnya dengan lega. Melepaskannya seolah
sedari tadi karbondioksida terikat dalam dirinya, melarang oksigen baru hingga
membuat napasnya tersengal dan menipis aneh.
“Sial,
aku merasa seperti sedang diburon.”
Ting.
Lift terbuka.
“Nah,
kau tidak membalas pesanku, Nona Shizuna.”
Netra
hitam sewarna batu oniks milik Kanae melebar. Refleks kejut membuat indera
pengecapnya berteriak kecil. Sebelum kakinya kembali menarik diri untuk mundur,
sebelah tangannya sudah lebih dulu ditarik sosok pencipta keterkejutannya
barusan (sekaligus sosok yang seharian ini ia hindari) hingga akhirnya tubuh
Kanae masuk ke dalam lift dengan
sempurna.
Pintu
lift kembali tertutup.
“Akihiro!
Aku bisa berteriak dan melambai pada CCTV di dalam lift ini jika kau—“
“Hei,
aku selalu suka caramu menyebutkan nama depanku.”
“—tidak
melepaskanku!”
Sret.
Genggaman itu
terlepas dengan mudahnya. Wajah Kanae memerah, entah karena terlampau marah,
malu, kesal, atau hal-hal komplikasi lainnya.
Setelah
dirasa napas Kanae kembali normal, Akihiro kembali menyentuh tangan gadis itu.
Dengan iseng, ia tekan tombol dua puluh—lantai teratas gedung ini. Padahal
tujuan Kanae jelas ada di lantai sepuluh—ruang keja kakaknya. Dan, omong-omong,
mereka masih berada di lantai enam.
“Akihiro—“
“—aku
mengirimimu pesan semalam.”
Sama
sekali tak ada kesan menuntut pada suara Akihiro. Hanya nada lembut dan hangat.
Membuat Kanae sangsi apa pria ini tengah menuntut penjelasannya atau memang
hanya berbasa-basi?
“A-aku
tahu.”
“Tapi
kau tak membalas, hm?”
Dan,
ya. Pria ini memang sedang menuntut penjelasan.
Kanae
menghela napas, sesekali matanya melirik ke arah tombol lift—masih lantai sembilan. Kenapa pula tidak ada pekerja lainnya
yang naik? Aneh sekali.
“Dengar,
Akihiro. Apa hakmu untuk mengajakku berkencan, hah?”
“Semua
pria yang sedang jatuh cinta berhak mengajak
kencan gadis yang dijatuhi cintanya itu, kan?”
Kenapa
gagasannya aneh sekali.
“Ya
… memang.” Kanae membalas cepat sebelum kembali mengujar. “Dan apa untungnya
jika aku menerima ajakanmu?”
Akihiro
melirik tombol-tombol di sisi lift. Lantai
enam belas.
“Hm
… kutraktir makan di kedai kaki lima yang sederhana? Kuajak kau keliling Tokyo
dengan motor alih-alih sedan mengilap? Kubawa kau ke pasar malam di desa-desa
terpencil yang sangat berbeda dengan Disneyland? Dan, hal-hal lain semacam
itulah.”
Kanae
sudah melongo, namun Akihiro tersenyum tipis.
“Bagian
mananya yang menguntungkan, Akihiro-baka(*)!”
Tawa
Akhiro pun meledak. Lift sudah berada
di lantai dua puluh, bersiap untuk kembali turun ke lantai tujuan mereka. Dan
Akihiro kembali menarik Kanae mendekat.
“Itulah.
Keuntungannya, kau akan tahu bahwa hal-hal sederhana semacam itu ternyata lebih
mudah membawa kebahagiaan ke dalam hidupmu yang membosankan, Kanae.”
Entah
terhipnotis atau apa, Kanae hanya terpaku ketika Akihiro melarikan
jari-jemarinya di sepanjang wajah hingga rahangnya.
“Tapi,
aku tidak memaksa.” bisik pria itu cepat.
Lift akhirnya berdenting, menunjukkan
mereka telah sampai di lantai tujuan. Pintu lift
terbuka, dan Akihiro sudah bersiap
untuk keluar ketika Kanae menahan sebelah tangannya.
“Baiklah.
Aku mau.”
To
Be Continued.
(*)bodoh
Mumpung ada waktu nulis dan publish lebih cepat dari biasanya, saya manfaatkan, yea xD 466 words for lift's incident. Kepenginnya bikin pembaca diabetes, tapi boro-boro, ya. Manis aja enggak :(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar