Followers

Jumat, 15 November 2013

Catch You with Alphabets: Chapter 5: E untuk Exception


Chapter 5: E untuk ‘Exception
["Love always become exception.” -Unknown]
.
.
            Aku pernah berada dalam sebuah masa-masa sulitku. Seperti, ketika aku memutuskan untuk meninggalkan orang tuaku di Yogyakarta untuk menetap di Jakarta, atau saat di mana naskah novel yang kukerjakan larut malam hingga bergadang ternyata tak cukup pantas untuk diterbitkan oleh publisher-ku—hingga akhirnya membuatku harus merombaknya ulang kembali bersamaan dengan kesulitan yang berulang di sini, atau di mana aku tengah bertengkar dengan kedua orang tuaku dengan sebuah masalah yang itu-itu saja.
            Yang terakhir adalah kesulitan terbesarku.
            Mam dan Pap selalu memertanyakan atas segala kemajaun pekerjaanku sebagai penulis paruh waktu. Aku mengerti, itu adalah salah satu cara mereka untuk kembali mengusikku secara tidak langsung mengarahkanku untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan—karena mereka tahu, saat ditanya tentang kemajuan pekerjaanku saat ini, aku tidak akan mampu menjawabnya.
            Like I said before, aku selalu ingin bekerja mengenai hal-hal yang kusukai. Kedua orang tuaku selalu menginginkan aku menjadi seorang pendidik—gelarku yang sebenarnya memang S.pd, karena saat itu aku lulus sebagai mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun, aku merasa passion-ku lebih ke sastra, bukan pendidikannya. Maka dari itu, saat aku memutuskan pindah ke Jakarta—bukannya menetap di Yogyakarta dan mengikuti tes CPNS, sedikit banyak Mam dan Pap kurang menyetujui.
            Dan saat ini hal itu terulang kembali. Sebuah masa-masa sulit di mana aku bertengkar dengan orang tuaku hanya karena profesiku saat ini.
            “Mau di kemanakan masa depanmu, Flo? Jika dengan profesimu saja masih belum jelas hingga saat ini.”
            Begitu yang Mam katakan padaku di ujung telepon. Aku memijit pangkal hidungku pelan, berusaha menghilangkan pening yang tiba-tiba saja menyambangi. Kupikir Mam berinisiatif menelepon karena hanya ingin melepas rasa rindu seperti sebelum-sebelumnya, namun, saat beberapa basa-basi ia mulai menanyakan tentang pekerjaan novelku, aku mulai curiga.
            “Kita sudah pernah membicarakan ini, Mam. Please, give me a chance just for this profession.
            Terdengar suara helaan napas panjang di sana. Itu adalah salah satu cara Mam untuk menahan emosi. Dan kalau sudah sampai menahan emosi, itu pertanda bahwa Mam ingin menangis.
            Dan aku tak ingin mendengar wanita yang paling kusayangi itu menangis.
            “Kami sudah memberimu kesempatan yang panjang,honey. Suaranya sudah terdengar lebih kecil dan parau. “Semua orang tua hanya ingin melihat anaknya berhasil, Flo!”
Aku tak sanggup lagi menahan segala rasa sesak pada rongga dadaku saat akhirnya mendengar suara isakkan dari ujung telepon. Maka dari itu, tanpa maksud apapun selain tak lagi sanggup menahan sesak akibat melihat Mam menangis, aku memutuskan sambungan telepon.
            “I’m really sorry, Mam.”
            Dan aku menangis sejadi-jadinya saat itu. Tak ada lagi hal yang dapat dan kupikir sanggup aku lakukan selain menangis di apartemen. Aku mematikan handphone, menolak tamu yang datang, bahkan mengabaikan e-mail dari editorku yang terus-menerus memeringati tentang waktu deadline yang sudah hampir habis.
            Karena masa-masa tersebut adalah situasi tersulit yang pernah kualami. Karena, akan ada banyak hal yang terpengaruhi oleh situasi itu.
            Tak ada hal yang lebih menyakitkan, dibandingkan dengan mengetahui bahwa Ibumu menangis karena dirimu sendiri.
            BIP. BIP.
            “Saat ini Flaciona sedang tidak bisa menjawab telepon Anda. Silakan tinggalkan pesan setelah bunyi…”
            BIP.
            “Flo, ponselmu mati? Hari ini aku mengadakan regular party bersama teman-teman Ron di apartemenku. Bisa datang? Ajak Vergi juga, ya. Kutunggu kabarmu.”
            BIP. BIP.
            “Astaga, Flo! Apa yang kau lakukan dengan ponselmu? Deadline-mu besok siang, Astaga! Jangan membuatku gila, Flo! Hubungi aku secepatnya jika kau masih memikirkan nasib naskahmu!”
            BIP. BIP.
            “Halo, uhm, maaf, benar ini dengan Saudari Flaciona? Kami dari kantor pemasaran Pen Publishing. Kami tertarik dengan naskah Anda yang berjudul Senja. Bisa segera hubungi Kami secepatnya setelah ponsel Anda aktif? Terima kasih.”
            BIP. BIP.
“Flo, ada apa dengan ponselmu? Ini Glenn. Aku ingin bertemu denganmu. Bisa?”
BIP. BIP.
            “Aghhhhh! Shit!!!”
            Hampir lima menit sudah mesin penjawab telepon sialan itu berteriak. Hell, aku tak ingin mendengar apapun. Aku tak peduli dengan Sena, Ger—editorku, penerbit baru, atau Glenn sekalipun.
            Aku tidak tahu apa yang mampu membuat perasaanku kembali tertata rapi setelah tercabik-cabik mendengar suara tangisan Mam. Jika seperti ini, aku bahkan yakin tidak akan sanggup meneruskan pekerjaanku lagi.
            BIP. BIP.
            “Flo?”
            Mataku melebar. Mendengar nada suara tak asing yang seharian ini hampir kulupakan.
            “Hei, ada apa denganmu? Ponsel mati? Mengabaikan seluruh pekerjaan? Tak menghubungiku?”
            Suara yang akhirnya membuatku menemukan alasan untuk kembali menata rapi hatiku yang terlampau sesak ini.
            “Ada yang ingin kau ceritakan?”
            Isakkanku kembali terdengar, tapi entah mengapa kali ini aku merasakan sebuah perasaan lega yang teramat sangat hingga tangisku ini bercampur dengan rasa haru.
            “Ceritalah…”
            Suara itu terhenti sejenak. Menyisakan suara helaan napas berat dari ujung mesin penjawab telepon, serta kesunyian kamarku yang di dominasi oleh suara isakkanku.
            “Kutunggu kau menghubungiku kembali. Aku … menunggu di depan apartemenmu.”
            BIP.
Saat itu juga, seluruh syarafku seperti refleks menerima perintah organ tubuhku yang kini siap bangkit dan begerak cepat untuk berlari ke luar kamar. Perasaanku tak menentu, jantungku berdetak ribuan kali lebih cepat—seolah aku adalah pecandu narkotik sakau yang akhirnya menemukan obatku lagi.
            Dan saat akhirnya aku membuka pintu apartemen, menemukan Vergian tengah bersandar pada sisi tembok sebelah kiri, perasaanku akhirnya meledak.
            “Flo—“
            “—I hate myself, Vergi! I hate…”
            “Sssst.”
            Vergian memelukku dengan erat, kemudian menuntunku kembali masuk ke dalam apartemen. Sebelah tangannya sibuk mengusap sisi tubuhku, dan sebelahnya lagi berusaha menutup pintu apartemen.
            Setelah pintu tertutup, ia kembali mendekapku erat, membawaku ke dalam kamar dan duduk di sisi ranjangku. Tanpa banyak bicara, ia terus memelukku. Membelai lembut rambutku yang berantakkan, juga kedua bahuku yang bergetar.
            Vergian selalu melakukan hal ini saat aku menangis.
            Ia hanya akan terdiam, tanpa mengatakan apapun. Terus memelukku hingga aku merasakan bahwa ialah obat untuk seluruh kesulitanku.
            “Vergi, aku membuat Mam menangis.”
            Karena Vergian adalah sebuah pengecualian.
            Saat kurasakan aku tengah tak peduli dengan seluruh orang, tetapi ia adalah pengecualian.
            Vergian akan selalu menjadi seseorang yang dapat menenangkanku, obat mujarabku. Vergian tak akan pernah menjadi seseorang yang lain untukku. Vergian tak akan pernah bisa menjadi orang yang kuhindari saat aku tengah berada dalam situasi sulitku ini.
            Because he’s my exception.
      Dan, memang, cinta selalu menjadi sebuah pengecualian.
A/n: this is my part of my NaNoWriMo project. Chapter 5, E untuk Exception. Uhm, hanya segelintir kisah Flo dan Vergi serta pahit manis hubungan mereka berdua. Dan … Novelku masih jauh dari target:’( baru 8rban kata dari 50rb kata:’) 15 hari lagi tersisa untuk melengkapi kekurangan itu. Ugh, can I?;p

1 komentar: