Followers

Minggu, 16 Juni 2013

(UN)FINISHED (FF "The Truth About Forever") by Hidya Nuralfi Mentari


            Karena cinta mereka belum usai…
            Kana melangkahkan kakinya dengan statis. Suara tapaknya terdengar jelas diantara lantai-lantai bobrok ruangan kost itu. Senyum tak pernah lepas dari bibir mungilnya,  kedua tangannya memeluk sebuah buku kecil yang terlihat eksentrik.
            Gadis itu menghentikan langkahnya di depan sebuah kamar bernomer sebelas. Masih dengan seulas senyum dibibirnya, ia mengangkat sebelah tangannya untuk mengetuk pelan pintu dihadapannya itu.
            Tiga ketukan, pintu itu terbuka.
            “Yogas!”
            “Sepertinya kamu salah kamar.” Tukas pria angkuh yang baru saja membuka pintu itu malas, matanya melirik singkat kearah pintu kamar bernomer sepuluh yang berada persis disamping kamarnya. “Kamarmu yang itu.”
            Kana memajukan bibirnya kesal. Pria ini… masih saja.
            “Kamu jahat seperti biasa. Padahal aku bawa ini untuk kamu.” Balasnya seraya menimbang-nimbang buku ditangannya.
            Sedangkan pria dihadapannya masih menatap datar. Seolah tak tertarik sama sekali dengan buku eksentrik bersampul jingga itu.
            “Hm?”
            Cukup sudah. Kana menyerah. Pria didepannya ini benar-benar seperti manusia tanpa jiwa. Dengan sekali hentakkan, gadis itu berbalik dan melangkah cepat kearah kamarnya.
            Namun, belum sempat ia melangkah lebih jauh, sebuah lengan kekar lebih dulu menariknya kembali. Gadis itu dapat merasakan keningnya membentur dada bidang sang penarik, sebelum akhirnya kehangatan membungkus tubuhnya.
            “Memangnya buku apa yang kamu bawa, hm?” ujar pria yang dipanggil Yogas itu akhirnya. Kana tersenyum dalam dekapan pria itu.
            “Novel baru. Yang akan jadi naskah film kamu selanjutnya.”
            Yogas balas tersenyum tipis. Lengannya terulur untuk membelai helaian rambut gadis dalam dekapannya itu. “Whatever you want.”
            Senyum Kana semakin mengembang, ia mengeratkan pelukannya pada pria tercintanya itu. Ia tahu, meskipun Yogas tak banyak berkata-kata, tapi sikap yang ditunjukkan padanya sudah sangat cukup untuk membuktikan bahwa pria itu juga mencintainya.
            Seperti sekarang ini, memeluk erat dan membelai helaian rambutnya.
            There’s nothing happier than this.
***
            Kana menatap kursi makan yang terlampaui sederhana itu dengan dahi berkerut. Pasalnya, saat jam sudah menunjukkan waktu makan malam seperti ini, biasanya para penghuni kost yang lainnya sudah siap dibangkunya masing-masing. Tapi, malam ini yang ia temukan dimeja makan hanyalah Bulik seorang diri. Saat makan malam, memang penghuni kost biasanya makan bersama-sama dirumah Bulik bersama keluarga kecil Bulik.
            “Kemana yang lain, Bulik?” serunya pelan seraya membantu Bulik menyiapkan beberapa piring yang kali ini tak terlalu banyak.
            “Belum pulang, Kan. Ada urusan masing-masing kayaknya.” Balasnya singkat. Kana hanya mengangguk ringan sebelum akhirnya menyadari sesuatu.
            “Yogas belum dateng, Bulik?”
            Dengan cepat Bulik menoleh kearah Kana. Dengan ragu, wanita paruh baya itu tersenyum kecil. “Sepertinya belum.”
            Kana menghela napas pelan. Lalu dengan perlahan ia mengambil dua buah piring dan menyendokkan nasi beserta lauknya kedalam piring tersebut.
            “Bulik, Kana makan diatas, ya. Bareng Yogas sekalian.”
            Dengan cepat gadis itu membawa kedua piring ditangannya dan melangkah keluar dari rumah itu. Sedangkan Bulik yang melihat hanya dapat menghela napas pasrah.
            Kana memandang pintu yang tertutup dihadapannya tanpa ide. Kedua tangannya kini penuh dengan piring untuk makan malam Yogas dan dirinya sendiri. Dengan setengah hati, akhirnya ia mengangkat sebelah kakinya untuk menendang pelan pintu tersebut.
            Pintu terbuka dan ia melihat Yogas tengah berkutik dengan laptop dimeja belajarnya. Gadis itu menghela napas singkat sebelum akhirnya memutuskan masuk kedalam kamar Yogas.
            “Makan dulu, yuk.” Kana berseru ringan seraya meletakkan salah satu piring yang ia bawa pada meja belajar Yogas. Pria itu menoleh kemudian tersenyum singkat.
            “Sebentar. Sedikit lagi.”
            Kana menyipitkan matanya, dengan sengaja menghela napas keras-keras agar pria itu mendengarnya. “Yogas…”
            “Iya Kana? Aku akan menyelesaikannya seben––“
            Belum sempat Yogas menyelesaikannya, pria itu sudah lebih dulu mendengus pelan saat melihat kedua mata Kana yang menyipit tak suka.
            “Iya, iya. Aku makan.”
            Mendengar itu, Kana hanya dapat tersenyum puas kemudian mengambil tempat duduk disamping Yogas untuk menghabiskan makan malam miliknya.
            Dalam hati Kana tertawa geli, Yogas tak akan pernah menang darinya.
***
            Tik. Tik. Tik.
            Suara jarum jam memenuhi ruangan sunyi tersebut. Setiap detik yang terlewat selalu menghasilkan suara detakkan aneh yang seakan tak akan pernah berhenti. Terus mengejarmu.
            Yogas memandang gadis dalam dekapannya dengan penuh damba. Sudut-sudut bibirnya tertarik, menyimpulkan seulas senyum tipis yang sangat jarang dilakukannya. Tubuhnya ia sandarkan pada kepala tempat tidur dikamar kecilnya. Dan tubuhnya yang sudah lama mendingin terasa menghangat kembali saat mendekap gadis itu.
            “Kana…”
            Kana mengangkat kepalanya dari dada bidang Yogas dan mendongak kerarah pria itu. “Hm?”
            “Kamu yakin nggak akan ninggalin aku?” jawab pria itu pelan.
            Kana tersenyum lebar. “Nggak pernah seyakin ini.”
            “Masa?”
            Gadis itu mendesah. “You know me so well, right?”
            Yogas terkekeh pelan. Pria itu mulai membelai helaian rambut gadis itu.
            “Kalau aku yang ninggalin kamu?” lanjutnya.
            Kana menoleh cepat. Memandang Yogas dengan tatapan galaknya, kemudian membalas yakin. “I know you never do that.”
            “Kalau aku mati?”
            Kali ini Kana sedikit terkejut dengan ucapan pria itu. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum lembut.
            “Aku akan ikut mati bareng kamu.”
            Aku akan ikut mati bersamamu…
***
            Cinta mati itu––bukan cinta yang akan ikut mati saat cinta itu mati.
            Tetapi, cinta mati itu––cinta yang akan tetap hidup walaupun cinta itu telah mati.
            Kana menapaki kakinya perlahan pada satu persatu tangga yang ia lewati. Malam ini begitu berisik dibawah sampai-sampai ia penasaran apa yang sedang teman-temannya lakukan dilantai dasar kost kecil ini.
            Begitu kakinya mencapai tangga terakhir, ia berhenti disana. Kedua binernya menatap berbinar kedua teman penghuni kost-nya beserta Bulik yang terlihat tengah mengecat dinding-dinding sekeliling ruangan dengan cat berwarna kuning. Kana terkekeh pelan, membayangkan bagaimana jadinya jika warna kuning mendominasi dinding-dinding ruangan sempit ini.
            Masih asyik memandangi kerusuhan-kerusuhan yang dibuat keluarga kecilnya itu, Kana tak sadar jika sedari tadi Ono tengah memerhatikannya dengan dahi mengerut.
            “Kana, ngapain disitu?” ujarnya menyadarkan Kana.
            Yang di tegur hanya menggeleng cepat seraya kemudian melangkahkan kakinya menuju kerumunan kecil yang berisik itu.
            “Kenapa nggak ada yang bilang kalau malam ini kalian mau ngecat lantai bawah?” tanya Kana akhirnya, gadis itu juga sedikit melirik kearah Bulik yang kini hanya tersenyum meminta maaf.
            “Kamu, kan, cewek.” Kini Agus membalas jujur.
            Kana menyipitkan kedua matanya. “Terus kenapa kalau aku cewek? Bulik juga cewek disini, kan?”
            “Aduh, Bulik kan yang bertanggungjawab disini. Mereka nggak tega sama kamu, tho.” Balas Bulik ikut menenangkan Kana. Gadis aktif itu pasti akan sangat keberatan jika mengetahui alasan yang sebenarnya. Mereka memang sengaja tak memberi tahu Kana sebelumnya, selain ia perempuan, kondisi gadis itu juga kurang memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan berat seperti ini.
            “Ih, alasan basi.” Kana mengambil sebuah amplas kecil yang tergeletak di sudut lantai. Kemudian dengan perlahan ia gosokkan pada bagian dinding yang terlihat berdempul. “Lagian kenapa Yogas juga nggak diajak? Kalau dia jelas bukan perempuan, kan?”
            Seketika semua orang disana langsung mengambil alat-alat mereka dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bahkan Bulik meminta izin untuk membuatkan teh hangat ke dapur.
            “Kayaknya kalian semakin sensi deh sama aku dan Yogas.”
            Ono akhirnya menoleh dan menghela napas. “Itu karena kondisinya dia nggak memungkinkan, Kana.”
            “Kenapa? Karena dia sakit?” balas Kana tak mau kalah. Ia sangat tak suka jika ada seseorang yang meremehkan Yogas hanya karena penyakit HIV/AIDS yang diidapnya.
            Ono menatap Kana dengan pandangan lelah, setelah akhirnya untuk mengangkat bahu tak menghiraukan.
            “Sudah, sudah. Kamu juga nggak perlu bantuin kita.” Agus berkata pelan masih sambil mengecat dinding. “Kamu susul Bulik saja, buatin kami teh hangat yang enak.”
            Dengan sangat berat hati dan enggan, akhirnya gadis itu berhenti dari pekerjaannya dan menaruh amplas yang baru saja ia pakai pada tutup ember cat. Ia melangkah pelan menuju dapur dan menemukan Bulik yang tengah mengaduk beberapa gelas teh dengan pandangan menerawang.
            “Bulik, kok ngelamun?” tegur Kana pelan. Gadis itu mengambil alih sendok kecil yang berada dalam genggaman Bulik kemudian meneruskan pekerjaan Bulik-nya itu.
            “Nggak melamun, kok.” Tandas Bulik mengelak. Ia memerhatikan Kana yang tengah menambahkan beberapa sendok teh gula kedalam gelas-gelas itu. “Gulanya jangan banyak-banyak, tho.”
            Kana mengangguk singkat. Bulik masih memerhatikan Kana yang telah selesai menyusun gelas-gelas itu dinampan saat tiba-tiba gerakannya terhenti.
            “Kenapa, nduk?” tanyanya heran.
            “Ah, aku hampir lupa.” Gumam gadis itu pelan kemudian engambil satu lagi gelas bersih di rak piring. Dengan cepat ia membuat satu gelas lagi teh hangat dan kemudian kembali menyusunnya dinampan bersama gelas-gelas lainnya.
            “Buat siapa, tho?” tanya Bulik pelan seraya mengikuti Kana kembali keruang depan.
            “Buat Yogas, Bulik. Kasihan diatas sendirian. Aku ajak kesini aja ya, Bulik.” Balas Kana bersemangat seraya meletakkan nampan berisi gelas-gelas teh hangat itu dimeja kecil yang berada diruangan itu.
            Bulik menatap Kana dengan tatapan lemahnya. Wanita paruh baya itu kembali mengikutinya yang kini telah melangkah cepat ke lantai dua menuju kamar Yogas.
            Lagi-lagi Bulik hanya menghela napas pasrah seraya menggumam pelan dibelakangnya. “Kana…”
            Tanpa repot-repot mengetuk atau meminta izin, Kana sudah mendorong kamar itu dan masuk kedalamnya. Dari luar, Bulik mendengar gadis itu berbicara.
            “Yogas, mau ikut ngecat bareng-bareng dibawah nggak? Yuk, aku udah bikinin teh hangat juga buat kamu.”
            Bulik masih tak mendengar jawaban dari Yogas. Namun kemudian suara tawa renyah Kana dan ucapannya kembali terdengar sayup-sayup.
            “Kalau kamu nggak mau ikut ngecat nggak apa-apa. Kita bantu nonton mereka aja. Lagipula kamu harus lihat warna apa yang dipilih anak-anak kali ini!”
            Selanjutnya, Bulik mendengar langkah-langkah pelan keluar dari dalam kamar itu. ia melihat Kana keluar dengan senyuman lebar sembari kembali menutup pintu kamar Yogas.
            “Tuh, kan, Bulik. Kalau diajak, Yogas pasti mau ikut ngumpul kebawah. Iya, kan, Gas?” ujar Kana pelan seraya menoleh kesamping dan tersenyum lebar.
            Bulik hanya balas tertawa singkat. Ia melihat Kana mengulurkan tangannya dan dengan semangat berjalan cepat menuruni tangga dengan gerakan seolah-olah tengah menarik seseorang.
            Kali ini, Bulik tersenyum miris.
            Wanita itu melangkah pelan mendekati pintu kamar Yogas dan kembali membuka pintunya. Ia menatap kamar itu dengan miris. Kamar kosong. Kamar yang telah ditinggalkan pemiliknya hampir satu tahun yang lalu.
            Ditinggalkan untuk selama-lamanya.
            “Kasihan sekali Kana. Dia terus terperangkap pada delusinya. Tidak mau menerima kalau Yogas sudah tenang disurga sana.” Gumamnya pelan. Ia menghapus genangan air yang hampir jatuh dari sudut matanya.
            Sekali lagi, ia melirik ke dalam kamar itu. sebelum akhirnya kembali menutupnya, seraya berbisik pelan.
            “Semoga tidak ada lagi yang membukanya.”
***
            Aku mencintainya, sangat mencintainya.
            Perasaan ini mungkin baru akan hilang setelah kematianku nanti.
            Tetapi tidak dengan kematiannya…
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar