Karena
cinta mereka belum usai…
Kana melangkahkan kakinya dengan
statis. Suara tapaknya terdengar jelas diantara lantai-lantai bobrok ruangan
kost itu. Senyum tak pernah lepas dari bibir mungilnya, kedua tangannya memeluk sebuah buku kecil yang
terlihat eksentrik.
Gadis itu menghentikan langkahnya di
depan sebuah kamar bernomer sebelas. Masih dengan seulas senyum dibibirnya, ia
mengangkat sebelah tangannya untuk mengetuk pelan pintu dihadapannya itu.
Tiga ketukan, pintu itu terbuka.
“Yogas!”
“Sepertinya kamu salah kamar.” Tukas
pria angkuh yang baru saja membuka pintu itu malas, matanya melirik singkat
kearah pintu kamar bernomer sepuluh yang berada persis disamping kamarnya.
“Kamarmu yang itu.”
Kana memajukan bibirnya kesal. Pria
ini… masih saja.
“Kamu jahat seperti biasa. Padahal
aku bawa ini untuk kamu.” Balasnya seraya menimbang-nimbang buku ditangannya.
Sedangkan pria dihadapannya masih
menatap datar. Seolah tak tertarik sama sekali dengan buku eksentrik bersampul
jingga itu.
“Hm?”
Cukup sudah. Kana menyerah. Pria
didepannya ini benar-benar seperti manusia tanpa jiwa. Dengan sekali hentakkan,
gadis itu berbalik dan melangkah cepat kearah kamarnya.
Namun, belum sempat ia melangkah
lebih jauh, sebuah lengan kekar lebih dulu menariknya kembali. Gadis itu dapat
merasakan keningnya membentur dada bidang sang penarik, sebelum akhirnya
kehangatan membungkus tubuhnya.
“Memangnya buku apa yang kamu bawa,
hm?” ujar pria yang dipanggil Yogas itu akhirnya. Kana tersenyum dalam dekapan
pria itu.
“Novel baru. Yang akan jadi naskah
film kamu selanjutnya.”
Yogas balas tersenyum tipis.
Lengannya terulur untuk membelai helaian rambut gadis dalam dekapannya itu. “Whatever you want.”
Senyum Kana semakin mengembang, ia
mengeratkan pelukannya pada pria tercintanya itu. Ia tahu, meskipun Yogas tak
banyak berkata-kata, tapi sikap yang ditunjukkan padanya sudah sangat cukup
untuk membuktikan bahwa pria itu juga mencintainya.
Seperti sekarang ini, memeluk erat
dan membelai helaian rambutnya.
There’s
nothing happier than this.
***
Kana menatap kursi makan yang
terlampaui sederhana itu dengan dahi berkerut. Pasalnya, saat jam sudah
menunjukkan waktu makan malam seperti ini, biasanya para penghuni kost yang
lainnya sudah siap dibangkunya masing-masing. Tapi, malam ini yang ia temukan
dimeja makan hanyalah Bulik seorang diri. Saat makan malam, memang penghuni
kost biasanya makan bersama-sama dirumah Bulik bersama keluarga kecil Bulik.
“Kemana yang lain, Bulik?” serunya
pelan seraya membantu Bulik menyiapkan beberapa piring yang kali ini tak
terlalu banyak.
“Belum pulang, Kan. Ada urusan
masing-masing kayaknya.” Balasnya singkat. Kana hanya mengangguk ringan sebelum
akhirnya menyadari sesuatu.
“Yogas belum dateng, Bulik?”
Dengan cepat Bulik menoleh kearah
Kana. Dengan ragu, wanita paruh baya itu tersenyum kecil. “Sepertinya belum.”
Kana menghela napas pelan. Lalu
dengan perlahan ia mengambil dua buah piring dan menyendokkan nasi beserta
lauknya kedalam piring tersebut.
“Bulik, Kana makan diatas, ya.
Bareng Yogas sekalian.”
Dengan cepat gadis itu membawa kedua
piring ditangannya dan melangkah keluar dari rumah itu. Sedangkan Bulik yang
melihat hanya dapat menghela napas pasrah.
Kana memandang pintu yang tertutup
dihadapannya tanpa ide. Kedua tangannya kini penuh dengan piring untuk makan
malam Yogas dan dirinya sendiri. Dengan setengah hati, akhirnya ia mengangkat
sebelah kakinya untuk menendang pelan pintu tersebut.
Pintu terbuka dan ia melihat Yogas
tengah berkutik dengan laptop dimeja belajarnya. Gadis itu menghela napas
singkat sebelum akhirnya memutuskan masuk kedalam kamar Yogas.
“Makan dulu, yuk.” Kana berseru
ringan seraya meletakkan salah satu piring yang ia bawa pada meja belajar
Yogas. Pria itu menoleh kemudian tersenyum singkat.
“Sebentar. Sedikit lagi.”
Kana menyipitkan matanya, dengan
sengaja menghela napas keras-keras agar pria itu mendengarnya. “Yogas…”
“Iya Kana? Aku akan menyelesaikannya
seben––“
Belum sempat Yogas menyelesaikannya,
pria itu sudah lebih dulu mendengus pelan saat melihat kedua mata Kana yang
menyipit tak suka.
“Iya, iya. Aku makan.”
Mendengar itu, Kana hanya dapat
tersenyum puas kemudian mengambil tempat duduk disamping Yogas untuk
menghabiskan makan malam miliknya.
Dalam hati Kana tertawa geli, Yogas
tak akan pernah menang darinya.
***
Tik. Tik. Tik.
Suara jarum jam memenuhi ruangan
sunyi tersebut. Setiap detik yang terlewat selalu menghasilkan suara detakkan
aneh yang seakan tak akan pernah berhenti. Terus mengejarmu.
Yogas memandang gadis dalam
dekapannya dengan penuh damba. Sudut-sudut bibirnya tertarik, menyimpulkan
seulas senyum tipis yang sangat jarang dilakukannya. Tubuhnya ia sandarkan pada
kepala tempat tidur dikamar kecilnya. Dan tubuhnya yang sudah lama mendingin
terasa menghangat kembali saat mendekap gadis itu.
“Kana…”
Kana mengangkat kepalanya dari dada
bidang Yogas dan mendongak kerarah pria itu. “Hm?”
“Kamu yakin nggak akan ninggalin
aku?” jawab pria itu pelan.
Kana tersenyum lebar. “Nggak pernah
seyakin ini.”
“Masa?”
Gadis itu mendesah. “You know me so well, right?”
Yogas terkekeh pelan. Pria itu mulai
membelai helaian rambut gadis itu.
“Kalau aku yang ninggalin kamu?”
lanjutnya.
Kana menoleh cepat. Memandang Yogas
dengan tatapan galaknya, kemudian membalas yakin. “I know you never do that.”
“Kalau aku mati?”
Kali ini Kana sedikit terkejut
dengan ucapan pria itu. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum lembut.
“Aku akan ikut mati bareng kamu.”
Aku
akan ikut mati bersamamu…
***
Cinta
mati itu––bukan cinta yang akan ikut mati saat cinta itu mati.
Tetapi, cinta mati itu––cinta yang akan tetap hidup
walaupun cinta itu telah mati.
Kana menapaki kakinya perlahan pada
satu persatu tangga yang ia lewati. Malam ini begitu berisik dibawah
sampai-sampai ia penasaran apa yang sedang teman-temannya lakukan dilantai
dasar kost kecil ini.
Begitu kakinya mencapai tangga
terakhir, ia berhenti disana. Kedua binernya menatap berbinar kedua teman
penghuni kost-nya beserta Bulik yang terlihat tengah mengecat dinding-dinding
sekeliling ruangan dengan cat berwarna kuning. Kana terkekeh pelan,
membayangkan bagaimana jadinya jika warna kuning mendominasi dinding-dinding
ruangan sempit ini.
Masih asyik memandangi
kerusuhan-kerusuhan yang dibuat keluarga kecilnya itu, Kana tak sadar jika
sedari tadi Ono tengah memerhatikannya dengan dahi mengerut.
“Kana, ngapain disitu?” ujarnya
menyadarkan Kana.
Yang di tegur hanya menggeleng cepat
seraya kemudian melangkahkan kakinya menuju kerumunan kecil yang berisik itu.
“Kenapa nggak ada yang bilang kalau
malam ini kalian mau ngecat lantai bawah?” tanya Kana akhirnya, gadis itu juga
sedikit melirik kearah Bulik yang kini hanya tersenyum meminta maaf.
“Kamu, kan, cewek.” Kini Agus
membalas jujur.
Kana menyipitkan kedua matanya. “Terus
kenapa kalau aku cewek? Bulik juga cewek disini, kan?”
“Aduh, Bulik kan yang
bertanggungjawab disini. Mereka nggak tega sama kamu, tho.” Balas Bulik ikut menenangkan Kana. Gadis aktif itu pasti akan
sangat keberatan jika mengetahui alasan yang sebenarnya. Mereka memang sengaja
tak memberi tahu Kana sebelumnya, selain ia perempuan, kondisi gadis itu juga
kurang memungkinkan untuk mengerjakan pekerjaan berat seperti ini.
“Ih, alasan basi.” Kana mengambil
sebuah amplas kecil yang tergeletak di sudut lantai. Kemudian dengan perlahan
ia gosokkan pada bagian dinding yang terlihat berdempul. “Lagian kenapa Yogas
juga nggak diajak? Kalau dia jelas bukan perempuan, kan?”
Seketika semua orang disana langsung
mengambil alat-alat mereka dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Bahkan
Bulik meminta izin untuk membuatkan teh hangat ke dapur.
“Kayaknya kalian semakin sensi deh
sama aku dan Yogas.”
Ono akhirnya menoleh dan menghela
napas. “Itu karena kondisinya dia nggak memungkinkan, Kana.”
“Kenapa? Karena dia sakit?” balas
Kana tak mau kalah. Ia sangat tak suka jika ada seseorang yang meremehkan Yogas
hanya karena penyakit HIV/AIDS yang diidapnya.
Ono menatap Kana dengan pandangan
lelah, setelah akhirnya untuk mengangkat bahu tak menghiraukan.
“Sudah, sudah. Kamu juga nggak perlu
bantuin kita.” Agus berkata pelan masih sambil mengecat dinding. “Kamu susul
Bulik saja, buatin kami teh hangat yang enak.”
Dengan sangat berat hati dan enggan,
akhirnya gadis itu berhenti dari pekerjaannya dan menaruh amplas yang baru saja
ia pakai pada tutup ember cat. Ia melangkah pelan menuju dapur dan menemukan
Bulik yang tengah mengaduk beberapa gelas teh dengan pandangan menerawang.
“Bulik, kok ngelamun?” tegur Kana
pelan. Gadis itu mengambil alih sendok kecil yang berada dalam genggaman Bulik
kemudian meneruskan pekerjaan Bulik-nya itu.
“Nggak melamun, kok.” Tandas Bulik
mengelak. Ia memerhatikan Kana yang tengah menambahkan beberapa sendok teh gula
kedalam gelas-gelas itu. “Gulanya jangan banyak-banyak, tho.”
Kana mengangguk singkat. Bulik masih
memerhatikan Kana yang telah selesai menyusun gelas-gelas itu dinampan saat
tiba-tiba gerakannya terhenti.
“Kenapa, nduk?” tanyanya heran.
“Ah, aku hampir lupa.” Gumam gadis
itu pelan kemudian engambil satu lagi gelas bersih di rak piring. Dengan cepat
ia membuat satu gelas lagi teh hangat dan kemudian kembali menyusunnya dinampan
bersama gelas-gelas lainnya.
“Buat siapa, tho?” tanya Bulik pelan seraya mengikuti Kana kembali keruang
depan.
“Buat Yogas, Bulik. Kasihan diatas
sendirian. Aku ajak kesini aja ya, Bulik.” Balas Kana bersemangat seraya
meletakkan nampan berisi gelas-gelas teh hangat itu dimeja kecil yang berada
diruangan itu.
Bulik menatap Kana dengan tatapan
lemahnya. Wanita paruh baya itu kembali mengikutinya yang kini telah melangkah
cepat ke lantai dua menuju kamar Yogas.
Lagi-lagi Bulik hanya menghela napas
pasrah seraya menggumam pelan dibelakangnya. “Kana…”
Tanpa repot-repot mengetuk atau
meminta izin, Kana sudah mendorong kamar itu dan masuk kedalamnya. Dari luar,
Bulik mendengar gadis itu berbicara.
“Yogas, mau ikut ngecat
bareng-bareng dibawah nggak? Yuk, aku udah bikinin teh hangat juga buat kamu.”
Bulik masih tak mendengar jawaban
dari Yogas. Namun kemudian suara tawa renyah Kana dan ucapannya kembali
terdengar sayup-sayup.
“Kalau kamu nggak mau ikut ngecat
nggak apa-apa. Kita bantu nonton mereka aja. Lagipula kamu harus lihat warna
apa yang dipilih anak-anak kali ini!”
Selanjutnya, Bulik mendengar
langkah-langkah pelan keluar dari dalam kamar itu. ia melihat Kana keluar
dengan senyuman lebar sembari kembali menutup pintu kamar Yogas.
“Tuh, kan, Bulik. Kalau diajak,
Yogas pasti mau ikut ngumpul kebawah. Iya, kan, Gas?” ujar Kana pelan seraya
menoleh kesamping dan tersenyum lebar.
Bulik hanya balas tertawa singkat.
Ia melihat Kana mengulurkan tangannya dan dengan semangat berjalan cepat
menuruni tangga dengan gerakan seolah-olah tengah menarik seseorang.
Kali ini, Bulik tersenyum miris.
Wanita itu melangkah pelan mendekati
pintu kamar Yogas dan kembali membuka pintunya. Ia menatap kamar itu dengan
miris. Kamar kosong. Kamar yang telah ditinggalkan pemiliknya hampir satu tahun
yang lalu.
Ditinggalkan untuk selama-lamanya.
“Kasihan sekali Kana. Dia terus
terperangkap pada delusinya. Tidak mau menerima kalau Yogas sudah tenang
disurga sana.” Gumamnya pelan. Ia menghapus genangan air yang hampir jatuh dari
sudut matanya.
Sekali lagi, ia melirik ke dalam
kamar itu. sebelum akhirnya kembali menutupnya, seraya berbisik pelan.
“Semoga tidak ada lagi yang
membukanya.”
***
Aku
mencintainya, sangat mencintainya.
Perasaan ini mungkin baru akan hilang setelah kematianku
nanti.
Tetapi tidak dengan kematiannya…
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar