Musim semi. Sebuah musim yang selalu
di tunggu-tunggu setiap tahunnya. Dimana kau dapat melihat gunungan bunga-bunga
sakura yang mekar sempurna, udara yang hangat, angin yang bertiup lembut, serta
bau rumput dan bunga-bunga liar yang menyejukkan.
Ribuan orang terlihat menggelar
tikar di bawah pohon sakura. Piknik dengan beberapa kerabat maupun teman dekat,
menikmati keindahan bunga merah muda tersebut seakan berpesta. Gelak tawa yang
terdengar, menambah hangat suasana yang tercipta. Hanami[1].
Sebagai pusat kota, Tokyo menjadi
salah satu yang paling sibuk jika Hanami sudah datang. Seluruh sudut pohon
sakura yang berbunga itu tak akan lagi terlihat sepi, melainkan ramai
terhidupi.
“Nara-kun, mampirlah sebentar. Kami
membuat banyak onigiri[2],
ne.”
Merasa di panggil, aku menoleh pelan
dan menemukan keluarga Hitsugaya disana. Mereka adalah pemilik Izakaya[3]
yang berada di seberang rumahku.
“Ah, arigatou[4],
baa-sama[5].
Aku sedang ingin jalan-jalan saja.” Balasku tersenyum ramah. Setelah berpamitan
singkat, aku pun kembali melanjutkan perjalananku.
Sebenarnya, bukanlah kebiasaanku
menikmati musim semi seperti ini. Sebagai remaja laki-laki, aku lebih suka
bermalas-malasan dirumah. Menikmati kue mantou[6]
buatan kaa-san[7],
dan ocha[8]
yang menghangatkan tubuh. Tetapi entah mengapa, hari ini berbeda.
Saat melihatnya bersepeda melewati
kediamanku tadi, rasanya pandanganku tak dapat terlepas lagi. Ada yang salah,
wajahnya yang manis terlihat muram, dan udara musim semi juga bukanlah
favoritnya. Karena penasaran, akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikutinya.
Meskipun aku jauh tertinggal karena aku hanya berjalan kaki, tetapi perasaanku
mengatakan jalan yang kulalui ini juga merupakan jalan yang gadis itu lalui
dengan sepedanya.
Langkahku terhenti saat akhirnya sebuah
sepeda biru muda berkeranjang terlihat bersandar pada sebuah pohon sakura.
Satu-satunya pohon yang terlihat sepi, mungkin karena letaknya yang berada jauh
di dalam taman, sehingga terhindar dari keramaian di depan sana.
Aku masih terpaku di tempat. Sebuah
kepala berkupluk putih menyembul di antara kelopak bunga sakura yang
berjatuhan. Ah, bukankah gadis itu yang kucari? Yang tengah bersandar diam
disebelah sepedanya. Lantas, apa yang bisa kulakukan sekarang? Menghampirinya?
Ugh, bisa kupastikan jika aku menghampirinya sekarang, yang ada aku hanya
menjadi objek kemarahannya saja. Lagipula, memangnya apa sebenarnya yang ingin
kulakukan padanya? Ah, dengan bodohnya aku memutuskan untuh mengikutinya.
Akhirnya aku memutuskan untuk
berdiam diri, bersandar pada sebuah batang pohon apel yang bahkan terlihat tak
menarik sama sekali di banding pohon-pohon sakura yang mekar. Memandanginya
dari sini. Jujur saja, jika kau menganggap aku ini adalah seorang teman––atau
pun seseorang yang memiliki hubungan yang baik pada gadis yang sedang bersandar
di sebelah sepedanya itu, maka kau salah besar. Mungkin, aku bisa dibilang
‘rival’-nya. Ia adalah tetanggaku sejak kecil, dan sainganku. Sejak kami
menginjak sekolah dasar sampai sekolah menengah atas saat ini, yang kami
lakukan hanyalah bersaing, bersaing, dan bersaing. Entah itu tentang
kepintaran, kepopuleran, atau hal-hal kecil yang lainnya. Kami berdua selalu
bersaing.
Namun, seperti seorang remaja
tanggung yang pikirannya mulai berkembang, di awal tahun terakhirku di sekolah
menengah atas ini, perasaan itu tiba-tiba saja menghampiriku.
Aku, seolah baru menyadari senyuman
gadis itu adalah senyuman termanis yang pernah kulihat. Suaranya yang selalu
terdengar berteriak itu seolah adalah suara terindah yang pernah kudengar. Ugh,
mungkin ini sedikit menjijikan, tetapi aku bahkan berani bersumpah, bahwa aku
telah jatuh cinta padanya.
Aku menghela napas banyak-banyak,
menghampirinya seolah hanya kebetulan sepertinya tidak buruk juga. Akhirnya,
dengan satu hentakkan pelan aku pun menegakkan tubuhku. Baru saja aku akan
melangkah menghampirinya, suara isakan tangis serta bahu gadis itu yang
terlihat berguncang sukses mengagetkanku.
Eh, apa ia sedang menangis?
Akhirnya tanpa ragu lagi, aku segera
melangkah cepat-cepat kearahnya. Tak peduli apa reaksinya nanti, yang jelas aku
harus tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya itu.
Satu langkah pelan, dan aku sampai
tepat disampingnya. Ia meringkuk dibawah pohon sakura, menenggelamkan wajahnya
diantara lipatan kedua kakinya.
“Kau kenapa?” adalah pertanyaan
pertama yang justru terlontar dari bibirku. Aku masih berdiri, memandanginya
seraya menunduk.
Kaget, gadis di depanku mendongak
cepat dan mendapati tatapanku. Terlihat jelas jejak-jejak air mata di kedua
belah pipinya yang memerah. Seketika membuatku menahan napas.
“Ngapain kau?” balasnya ketus. Suara
cemprengnya terdengar agak serak karena menangis.
Aku hanya menatapnya diam, sebelum
akhirnya menghela napas dan memutuskan untuk duduk di sampingnya. Ikut menekuk
kedua lututku.
“Ditanya malah balas bertanya.”
Paparku singkat. Berusaha menahan diri untuk tidak memeluk gadis disampingku
ini.
“Huh.” Ia memalingkan pandangannya
dan kembali menenggelamkan wajahnya diantara lipatan kakinya. Isakan tangis
kembali terdengar.
Aku terdiam. Tak berusaha untuk
memaksanya bercerita. Jika ingin, pasti gadis ini akan mengatakannya tanpa
harus kutanya. Saat ini, begini saja sudah cukup. Menemaninya agar ia merasa
bahwa ia tak sendiri, itu saja cukup.
Satu kelopak sakura jatuh di atas
kepalaku. Ah, aku jadi merasa sedang ber-hanami disini. Dengan ratusan kelopak
sakura yang berjatuhan di sekelilingku, dan Sakura yang rapuh di sampingku.
Masih sambil memandangi kelopak
sakura yang bertebaran di sekelilingku, sebuah benda keras tiba-tiba saja
menubruk pundakku.
“Hanami menyebalkan, ne?”
Aku menoleh, menemukan kepala gadis
disampingku tengah bersandar pada pundakku. Wajahnya tersembunyi dalam-dalam
diantara lekukan bahuku. Seketika, wangi shampoo yang menyeruak membuat dadaku
berdesir.
“N-nani?”[9]
tanyaku tak paham.
“Uzai![10]
Kaa-san, tou-san[11],
dan nii-san[12]
pergi ber-hanami meninggalkanku sendirian!” isaknya kencang. Tangannya bergerak
mencari ujung kemejaku dan meremasnya kencang.
Aku masih mendengarkan.
“Mereka meninggalkanku hanya karena
aku bangun kesiangan! Uzai! Uzai!” racaunya tak jelas.
Oh, aku mengerti.
Perlahan, sebelah tanganku terulur
untuk membelai rambutnya lembut. Aku membiarkan pundakku terasa lembab karena
air matanya membasahi kemejaku.
“Baka.[13]”
Ujarku singkat.
Gadis di sampingku mengangkat
kepalanya, menampakkan wajahnya yang terlihat begitu kacau. “Kenap––“
”Baka-Sakura!” potongku cepat. “Kau
membuatku khawatir setengah mati, dan ternyata kau seperti ini hanya karena di
tinggal Hanami oleh keluargamu? Dasar manja!”
Ia menyipitkan matanya, antara kesal
dan tidak percaya dengan ucapanku. “Kau tidak mengerti!”
“Apanya yang tidak mengerti?” aku
kembali menariknya mendekat, kini berusaha memeluknya. “Kau, kan, bisa
ber-Hanami denganku, Sakura.”
Gadis bernama Sakura itu berusaha
memberontak dalam pelukanku. Tetapi aku tak peduli, aku masih tetap mendekapnya
seraya mengacak rambutnya main-main.
“Siapa juga yang mau Hanami
bersamamu, baka!” gerutunya dalam dekapanku.
Aku terkekeh pelan, “Lalu kau pikir
sekarang kita sedang apa?”
Sakura terdiam. Tubuhnya berhenti
memberontak dan kini ikut pasrah melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku.
Isakannya masih terdengar jarang-jarang, membuatku kembali mengeratkan
pelukanku.
“Nara––” panggilnya lirih.
“Hm?” ujarku masih menikmati pelukanku.
“Ugh, Nara––“
“Apa?”
“Peluknya jangan kencang-kencang!
Aku tak bisa bernapas tahu!”
Refleks aku melepaskan pelukanku.
Aku menatap Sakura, melihat wajahnya yang memerah tiba-tiba saja juga membuat
wajahku memanas.
“U-ugh, gomennasai[14].”
Paparku gugup.
Aku kembali melemparkan pandanganku
ke depan, menghindari tatapan Sakura disampingku. Oh, yang benar saja, bagaimana
bisa aku memeluknya bernafsu seperti itu. Ugh, pasti Sakura sudah berpikir yang
tidak-tidak mengenaiku.
Beberapa saat kami masih terdiam.
Udara musim semi serta runtuhan kelopak sakura seakan menjadi hiasan kesunyian
kami. Banyak yang ingin aku katakan pada Sakura––tentang perasaanku khususnya,
hanya saja suasana ini masih terlalu canggung.
Tak nyaman, akhirnya aku pun
memutuskan untuk memulai percakapan. Apa pun itu asal tidak hening.
“Aku tadi sedang jalan-jalan, lalu
tak sengaja melihatmu disini.” Ucapku ringan, sedikit berbohong demi mencoba
mencari topik.
Sakura tak menjawab.
“Hah, coba tadi aku tak lewat,
mungkin kau sudah diculik oleh para yakuza[15]
yang lewat karena menangis di tempat sepi seperti ini.” Tambahku lagi.
“Bohong saja kau.”
“Eh?” aku menoleh cepat kearahnya,
dan menemukan Sakura tengah menyeringai lebar di sampingku.
“Aku tahu kau mengikutiku, kan?”
seringainya bertambah lebar.
Seperti maling ayam yang tertangkap
basah, aku tak sanggup berkata apa-apa. Mungkin wajahku sekarang sudah semerah
tomat, atau sewarna dengan kelopak sakura yang masih setia mewarnai
sekelilingku.
“Sudahlah, kalau suka padaku bilang
saja.” Tambahnya lagi, namun kini Sakura memalingkan wajahnya. Menatap direksi
jauh di depan sana, menyisakan sebelah pipinya yang memerah dalam pandanganku.
Tiba-tiba saja sebuah ide gila
muncul dalam kepalaku.
“Hei, Sakura.” Panggilku tegas
membuatnya menoleh.
Tak ada waktu, sedetik setelahnya
wajahku sudah mendekat kearahnya dan bibir hangatnya telah terbingkai lembut
dalam bibirku. Aku menciumnya singkat, dan melepaskannya meninggalkan semburat
merah yang menghiasi wajahnya sempurna.
“Aishiteru.[16]”
Dan seharian itu, kami habiskan
dengan memandangi kelopak-kelopak Sakura yang mekar sempurna diatas kami. Aku
tak dapat menyembunyikan wajahku yang memerah sampai akhirnya kami pulang
berboncengan sepeda, begitu pun dengan Sakura.
Musim semi ini kau hadir Sakura-ku.
Menemani Hanami-ku, dan melambangkan Aishiteru.
***
[1] Tradisi Jepang dalam menikmati keindahan
bunga, khususnya bunga sakura. Selain itu hanami juga berarti piknik dengan
menggelar tikar untuk pesta makan-makan dibawah pohon sakura.
[2] Makanan khas Jepang berupa nasi yang
dipadatkan/nasi kepal
[3] Kedai minuman
[4]
Terimakasih
[5]
Bibi
[6]
Kue khas Jepang
[7]
Ibu
[8] Teh
khas Jepang
[9]
Apa?
[10]
Menyebalkan!
[11]
Ayah
[12]
Kakak laki-laki
[13]
Bodoh
[14]
Maaf
[15] Sebutan
untuk para preman di Jepang
[16]
Aku mencintaimu
keren, bisa bantu kunjungi di sini. Ane minta kesediannya untukkomentarnya http://hittori-yudo.blogspot.com/
BalasHapusWaaah terimakasih:)) okeee!
BalasHapus