Kala aku masih kanak-kanak,
mendapati langit lembayung mendung adalah hal yang paling menyenangkan. Karena,
itu pertanda bahwa hujan akan turun. Kemudian aku akan melesat keluar rumah,
tak peduli dengan teriakkan Ibuku yang menyuruhku untuk tetap berada didalam
rumah. Aku menantang sang hujan, mengadahkan wajahku menerima setiap
guyurannya. Merasakan sensasi menyenangkan saat dalam sekejap tubuhku
dibasahinya.
Kala aku tumbuh remaja, mendapati
langit lembayung mendung adalah hal yang paling merepotkan. Karena, itu
pertanda bahwa hujan akan turun. Kemudian aku akan kerepotan hanya untuk
sekedar keluar rumah. Jika tetap nekat menembusnya, yang kudapatkan hanyalah
pakaianku yang akan basah kuyup terguyur liquid itu. Dan setelahnya, aku akan
sakit.
Tapi, ketika aku sudah dewasa,
mendapati langit lembayung mendung adalah memori yang tak terlupakan. Karena,
itu semua mengingatkanku akan dirimu.
––takdirku, yang kutemui dibawah
hujan.
***
Aku tak pernah benar-benar menyukai
hujan. Walaupun saat aku kecil dulu, aku sempat sangat menyukai saat-saat
dimana hujan akan turun. Tapi, aku juga tidak dapat membencinya. Entah mengapa,
hujan selalu memberikan cerita tersendiri bagiku.
Sekarang, aku adalah seorang remaja
yang mulai beranjak dewasa. Yang akan sesegera mungkin mencari kawasan beratap
jika langit sudah menunjukkan rona gelapnya. Guyuran hujan bukanlah lagi
sensasi yang memabukkan, tetapi merepotkan.
Seperti sekarang ini, aku sedang
berdiri dibawah sebuah halte kosong yang berada di persimpangan jalan menuju
kampusku. Saat tiba-tiba saja gerimis kecil datang disusul oleh butiran-butiran
air lainnya yang semakin lama semakin deras. Tadinya, aku berpikiran untuk
nekat menembus hujan. Tetapi setelah kupikir lagi, sampai kampus yang notabene
masih terhitung jauh jaraknya dari sini itu hanya akan membuatku basah kuyup.
Dan itu bukanlah ide yang bagus.
Aku tersadar bahwa hanya akulah
satu-satunya orang yang mengambil tempat berteduh dibawah halte ini. Biasanya
halte ini di sesaki oleh banyak mahasiswa maupun mahasiswi setiap harinya,
tetapi mengapa saat ini hanya aku yang berdiri disini? Ah, mungkin memang kali
ini hanya akulah satu-satunya orang yang tidak beruntung. Terjebak hujan
disini, sendirian pula.
Aku menghentakkan kakiku kesal.
Merutuki siapa saja orang yang telah membangun halte ini karena tidak memiliki
fasilitas tempat duduk yang akan membuat pengunjung halte sekedar merasa nyaman
saat menunggu bus tumpangannya. Saat tiba-tiba aku mendengar suara gemercik
kubangan air yang diinjak bersamaan dengan suara langkah seseorang yang
mendekat.
Dan saat itulah aku melihatmu.
Kau berlarian kecil menginjak
beberapa genangan air yang terlihat membasahi sneakers usangmu. Ransel hitam yang seharusnya berada dibelakang
punggungmu kini terangkat diatas kepalamu, melindunginya dari guyuran hujan
yang deras meskipun itu tak membantu banyak. Kemeja birumu terlihat lembab
dengan beberapa bekas rintikan hujan tercetak jelas. Langkah jenjang berbalut jeans hitam itu melangkah mendekat,
membuatku tiba-tiba saja menahan napas saat dirimu mengambil tempat tepat
disebelahku––untuk berteduh.
Saat aroma sabun mandi bercampur
dengan air hujan mulai menyinggahi indera penciumanku, barulah aku sadar aku
telah terpesona.
Sedetik, aku masih tetap
memandangimu. Menatap begitu indahnya sosok semampai itu. Hatiku berdesir,
sesuatu seperti menahanku untuk terus menatapnya seperti ini. Tetapi sesuatu
yang lain seolah menyadarkanku.
Saat aku hampir sadar––saat itulah
kedua netra hitam pekatmu menangkap pandanganku.
Terpaku. Aku tidak dapat mengatakan
apa-apa. Pandanganku terkunci, mata itu mengintimidasi. Menatap, seolah aku
korban yang diadili. Menuntut, menghakimi. Tetapi aku tidak dapat melakukan apa-apa
selain terus memandangi.
Lalu tanpa sama sekali kuduga
sebelumnya, kau tersenyum. Aku masih sempat melihat sebutir air menetes lembut
dari ujung rambutmu, mendarat dikeningmu kemudian menelusuri lekuk wajah
melewati hidungmu. Sebelum akhirnya hilang menembus bibir tipismu.
Aku menelan ludah. Merutuki diriku
sendiri yang masih sempatnya memerhatikan sebutir air itu. Aku bahkan belum
sempat membalas senyummu saat kau lebih dulu mengulurkan tangan basahmu
kepadaku.
“Roni. Mahasiswa kedokteran Universitas
Merah Putih. Kau?”
Sekali lagi, aku menelan ludah.
Tuhan, mengapa kau menciptakan makhluk ini benar-benar tanpa cacat sedikitpun?
Bahkan, suaranya itu––ugh, memabukkan.
Gugup, aku mencoba membalas uluran
tanganmu. “Uhm, N-Nita, mahasiswa sastra di Universitas Bakti, diseberang
sana.”
Aku menyambut uluran tanganmu,
merasakan hangatnya tangan besar itu. Sesaat, aku berpikir bahwa tangan basah
itu akan terasa dingin. Tetapi, nyatanya sebaliknya.
Hangat.
***
“Sepertinya hujannya semakin deras
saja.”
Aku menoleh, mendapatimu menerawang
jauh keatas sana. Dari samping pun aku dapat melihat lekukan sempurna wajahmu.
Secepat kilat aku memalingkan wajahku, merasakan pipiku memanas.
“Hei, Nita, kau suka hujan?”
Aku kembali menoleh untuk
memandangmu. Wajah itu tersenyum samar saat mengatakannya kepadaku. “Uhm, tidak
juga.” Balasku masih gugup.
Kau kembali mendongak, menatap langit
diatas sebelum membalas pelan. “Aku sangat menyukainya.”
Aku tak kuasa untuk tidak tersenyum.
Kau tidak tahu, aku girang sekali setiap kau selalu membuka percakapan padaku.
Kau terlihat––mengagumkan.
“Dulu, saat aku masih kecil aku juga
sangat menyukainya.” Tanpa sadar, aku menggumam pelan. Kau menoleh, menatapku.
“Tapi seiring berjalannya waktu, aku sadar hujan itu merepotkan.”
Entah mengapa, aku melihat kedua
matamu sedikit berbinar. Kemudian menyipit pelan saat kau terkekeh disampingku.
“Kau salah. Sampai kapanpun, hujan
itu menyenangkan.” Ujarnya masih tetap tersenyum. Aku memandang takjub. Kau,
begitu memakukan.
Aku tak membalas, otakku sibuk
menyingkirkan perasaan-perasaan aneh yang mulai berdatangan seiring dengan
intensnya tatapanmu itu.
“Kau mau membuktikannya?” ucapmu
antusias. Senyum tak pernah hilang dari sana.
Aku tidak tahu, saat mataku
menangkap kedua mata hitammu berbinar, perasaan hangat segera saja menelusup
kedalam dadaku. Dan tanpa kusadari, aku mengangguk pelan.
Tak ada sedetik kemudian, kau meraih
sebelah tanganku. Menghempaskan ranselmu ditanah begitu saja, setelah
sebelumnya memaksaku untuk melepaskan tas dan semua buku-buku dalam pelukanku.
Entah tersihir apa, aku menurutinya.
Kau menarikku lembut. Melangkahkan
kedua kaki jenjangmu membimbingku disampingmu. Tanganku terasa hangat dalam
genggamanmu. Dan saat aku mendongak untuk menatap wajahmu, aku melihatmu tengah
tersenyum lebar dengan semburat merah tipis terlihat menghiasi wajahmu. Aku
memegang dadaku erat, merasakan desiran hangat yang menyenangkan ini.
Aku menyukaimu.
Dan saat kau semakin jauh menarikku
keluar halte, aku mulai merasakan guyuran hujan perlahan membasahi seluruh
tubuhku. Perasaanku tak terbendung lagi saat jari-jemarimu semakin erat
menggenggam tanganku. Kau tertawa, membuatku tiba-tiba saja ingin merasakan
kebahagianmu. Tersenyum pelan, saat sebelah tanganmu kembali menautkan pada
satu lagi tanganku yang bebas. Kau menggenggam kedua tanganku, mengeratkannya
sebelum akhirnya membawaku berputar kencang sembari mengadahkan wajah keatas
langit. Menantang sang hujan.
Tawaku lepas.
Aku menyukaimu, benar-benar
menyukaimu. Tak tahu bagaimana dengan waktu sesingkat ini kau dapat meluluhkan
hatiku. Menghangatkannya sehingga membuatku merasa nyaman. Bahkan aku belum
mengenalmu, tetapi kau sudah berhasil memberikanku kebahagiaan sederhana yang
tak terlupakan seperti ini. Dan saat kau berhenti memutarku, genggamanmu tetap
tidak terlepas. Kini, kau menarikku mendekat kearahmu, hanya untuk saling
mendapat tatapan intim satu sama lain. Lagi, kau tersenyum.
“Kau senang?” tanyamu dengan suara
bergetar.
Aku mengangguk pelan, memberikan
senyuman terbaikku. “Sangat senang.”
Kau kembali terdiam, seperti sedang
memilah kata untuk membalas perkataanku tadi. Aku pun tetap tersenyum dalam
diam, menunggu.
“Jika kau mau––” kau melepaskan
sebelah tanganmu untuk menggapai pipiku yang memerah. “––aku ingin menunjukkan
hal lain yang akan membuatmu selalu senang.”
Saat kelima jarimu merayapu
permukaan kulit wajahku, mataku terpejam. Aku gila. Yeah, pertemuan singkat ini
berhasil membuatku gila.
Gila kamu.
Aku mengangguk pelan. Dan saat
merasakan kedua tanganmu kini merangkum sisi wajahku, aku tahu, kau akan
menjadi salah satu kisahku.
Lelaki dibawah hujan, yang tak
terlupakan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar