Followers

Minggu, 14 April 2013

Memory of Raindrops (CERPEN)


            Kala aku masih kanak-kanak, mendapati langit lembayung mendung adalah hal yang paling menyenangkan. Karena, itu pertanda bahwa hujan akan turun. Kemudian aku akan melesat keluar rumah, tak peduli dengan teriakkan Ibuku yang menyuruhku untuk tetap berada didalam rumah. Aku menantang sang hujan, mengadahkan wajahku menerima setiap guyurannya. Merasakan sensasi menyenangkan saat dalam sekejap tubuhku dibasahinya.
            Kala aku tumbuh remaja, mendapati langit lembayung mendung adalah hal yang paling merepotkan. Karena, itu pertanda bahwa hujan akan turun. Kemudian aku akan kerepotan hanya untuk sekedar keluar rumah. Jika tetap nekat menembusnya, yang kudapatkan hanyalah pakaianku yang akan basah kuyup terguyur liquid itu. Dan setelahnya, aku akan sakit.
            Tapi, ketika aku sudah dewasa, mendapati langit lembayung mendung adalah memori yang tak terlupakan. Karena, itu semua mengingatkanku akan dirimu.
            ––takdirku, yang kutemui dibawah hujan.
***
            Aku tak pernah benar-benar menyukai hujan. Walaupun saat aku kecil dulu, aku sempat sangat menyukai saat-saat dimana hujan akan turun. Tapi, aku juga tidak dapat membencinya. Entah mengapa, hujan selalu memberikan cerita tersendiri bagiku.
            Sekarang, aku adalah seorang remaja yang mulai beranjak dewasa. Yang akan sesegera mungkin mencari kawasan beratap jika langit sudah menunjukkan rona gelapnya. Guyuran hujan bukanlah lagi sensasi yang memabukkan, tetapi merepotkan.
            Seperti sekarang ini, aku sedang berdiri dibawah sebuah halte kosong yang berada di persimpangan jalan menuju kampusku. Saat tiba-tiba saja gerimis kecil datang disusul oleh butiran-butiran air lainnya yang semakin lama semakin deras. Tadinya, aku berpikiran untuk nekat menembus hujan. Tetapi setelah kupikir lagi, sampai kampus yang notabene masih terhitung jauh jaraknya dari sini itu hanya akan membuatku basah kuyup. Dan itu bukanlah ide yang bagus.
            Aku tersadar bahwa hanya akulah satu-satunya orang yang mengambil tempat berteduh dibawah halte ini. Biasanya halte ini di sesaki oleh banyak mahasiswa maupun mahasiswi setiap harinya, tetapi mengapa saat ini hanya aku yang berdiri disini? Ah, mungkin memang kali ini hanya akulah satu-satunya orang yang tidak beruntung. Terjebak hujan disini, sendirian pula.
            Aku menghentakkan kakiku kesal. Merutuki siapa saja orang yang telah membangun halte ini karena tidak memiliki fasilitas tempat duduk yang akan membuat pengunjung halte sekedar merasa nyaman saat menunggu bus tumpangannya. Saat tiba-tiba aku mendengar suara gemercik kubangan air yang diinjak bersamaan dengan suara langkah seseorang yang mendekat.
            Dan saat itulah aku melihatmu.
            Kau berlarian kecil menginjak beberapa genangan air yang terlihat membasahi sneakers usangmu. Ransel hitam yang seharusnya berada dibelakang punggungmu kini terangkat diatas kepalamu, melindunginya dari guyuran hujan yang deras meskipun itu tak membantu banyak. Kemeja birumu terlihat lembab dengan beberapa bekas rintikan hujan tercetak jelas. Langkah jenjang berbalut jeans hitam itu melangkah mendekat, membuatku tiba-tiba saja menahan napas saat dirimu mengambil tempat tepat disebelahku––untuk berteduh.
            Saat aroma sabun mandi bercampur dengan air hujan mulai menyinggahi indera penciumanku, barulah aku sadar aku telah terpesona.
            Sedetik, aku masih tetap memandangimu. Menatap begitu indahnya sosok semampai itu. Hatiku berdesir, sesuatu seperti menahanku untuk terus menatapnya seperti ini. Tetapi sesuatu yang lain seolah menyadarkanku.
            Saat aku hampir sadar––saat itulah kedua netra hitam pekatmu menangkap pandanganku.
            Terpaku. Aku tidak dapat mengatakan apa-apa. Pandanganku terkunci, mata itu mengintimidasi. Menatap, seolah aku korban yang diadili. Menuntut, menghakimi. Tetapi aku tidak dapat melakukan apa-apa selain terus memandangi.
            Lalu tanpa sama sekali kuduga sebelumnya, kau tersenyum. Aku masih sempat melihat sebutir air menetes lembut dari ujung rambutmu, mendarat dikeningmu kemudian menelusuri lekuk wajah melewati hidungmu. Sebelum akhirnya hilang menembus bibir tipismu.
            Aku menelan ludah. Merutuki diriku sendiri yang masih sempatnya memerhatikan sebutir air itu. Aku bahkan belum sempat membalas senyummu saat kau lebih dulu mengulurkan tangan basahmu kepadaku.
            “Roni. Mahasiswa kedokteran Universitas Merah Putih. Kau?”
            Sekali lagi, aku menelan ludah. Tuhan, mengapa kau menciptakan makhluk ini benar-benar tanpa cacat sedikitpun? Bahkan, suaranya itu––ugh, memabukkan.
            Gugup, aku mencoba membalas uluran tanganmu. “Uhm, N-Nita, mahasiswa sastra di Universitas Bakti, diseberang sana.”
            Aku menyambut uluran tanganmu, merasakan hangatnya tangan besar itu. Sesaat, aku berpikir bahwa tangan basah itu akan terasa dingin. Tetapi, nyatanya sebaliknya.
            Hangat.
***
            “Sepertinya hujannya semakin deras saja.”
            Aku menoleh, mendapatimu menerawang jauh keatas sana. Dari samping pun aku dapat melihat lekukan sempurna wajahmu. Secepat kilat aku memalingkan wajahku, merasakan pipiku memanas.
            “Hei, Nita, kau suka hujan?”
            Aku kembali menoleh untuk memandangmu. Wajah itu tersenyum samar saat mengatakannya kepadaku. “Uhm, tidak juga.” Balasku masih gugup.
            Kau kembali mendongak, menatap langit diatas sebelum membalas pelan. “Aku sangat menyukainya.”
            Aku tak kuasa untuk tidak tersenyum. Kau tidak tahu, aku girang sekali setiap kau selalu membuka percakapan padaku. Kau terlihat––mengagumkan.
            “Dulu, saat aku masih kecil aku juga sangat menyukainya.” Tanpa sadar, aku menggumam pelan. Kau menoleh, menatapku. “Tapi seiring berjalannya waktu, aku sadar hujan itu merepotkan.”
            Entah mengapa, aku melihat kedua matamu sedikit berbinar. Kemudian menyipit pelan saat kau terkekeh disampingku.
            “Kau salah. Sampai kapanpun, hujan itu menyenangkan.” Ujarnya masih tetap tersenyum. Aku memandang takjub. Kau, begitu memakukan.
            Aku tak membalas, otakku sibuk menyingkirkan perasaan-perasaan aneh yang mulai berdatangan seiring dengan intensnya tatapanmu itu.
            “Kau mau membuktikannya?” ucapmu antusias. Senyum tak pernah hilang dari sana.
            Aku tidak tahu, saat mataku menangkap kedua mata hitammu berbinar, perasaan hangat segera saja menelusup kedalam dadaku. Dan tanpa kusadari, aku mengangguk pelan.
            Tak ada sedetik kemudian, kau meraih sebelah tanganku. Menghempaskan ranselmu ditanah begitu saja, setelah sebelumnya memaksaku untuk melepaskan tas dan semua buku-buku dalam pelukanku. Entah tersihir apa, aku menurutinya.
            Kau menarikku lembut. Melangkahkan kedua kaki jenjangmu membimbingku disampingmu. Tanganku terasa hangat dalam genggamanmu. Dan saat aku mendongak untuk menatap wajahmu, aku melihatmu tengah tersenyum lebar dengan semburat merah tipis terlihat menghiasi wajahmu. Aku memegang dadaku erat, merasakan desiran hangat yang menyenangkan ini.
            Aku menyukaimu.
            Dan saat kau semakin jauh menarikku keluar halte, aku mulai merasakan guyuran hujan perlahan membasahi seluruh tubuhku. Perasaanku tak terbendung lagi saat jari-jemarimu semakin erat menggenggam tanganku. Kau tertawa, membuatku tiba-tiba saja ingin merasakan kebahagianmu. Tersenyum pelan, saat sebelah tanganmu kembali menautkan pada satu lagi tanganku yang bebas. Kau menggenggam kedua tanganku, mengeratkannya sebelum akhirnya membawaku berputar kencang sembari mengadahkan wajah keatas langit. Menantang sang hujan.
            Tawaku lepas.
            Aku menyukaimu, benar-benar menyukaimu. Tak tahu bagaimana dengan waktu sesingkat ini kau dapat meluluhkan hatiku. Menghangatkannya sehingga membuatku merasa nyaman. Bahkan aku belum mengenalmu, tetapi kau sudah berhasil memberikanku kebahagiaan sederhana yang tak terlupakan seperti ini. Dan saat kau berhenti memutarku, genggamanmu tetap tidak terlepas. Kini, kau menarikku mendekat kearahmu, hanya untuk saling mendapat tatapan intim satu sama lain. Lagi, kau tersenyum.
            “Kau senang?” tanyamu dengan suara bergetar.
            Aku mengangguk pelan, memberikan senyuman terbaikku. “Sangat senang.”
            Kau kembali terdiam, seperti sedang memilah kata untuk membalas perkataanku tadi. Aku pun tetap tersenyum dalam diam, menunggu.
            “Jika kau mau––” kau melepaskan sebelah tanganmu untuk menggapai pipiku yang memerah. “––aku ingin menunjukkan hal lain yang akan membuatmu selalu senang.”
            Saat kelima jarimu merayapu permukaan kulit wajahku, mataku terpejam. Aku gila. Yeah, pertemuan singkat ini berhasil membuatku gila.
            Gila kamu.
            Aku mengangguk pelan. Dan saat merasakan kedua tanganmu kini merangkum sisi wajahku, aku tahu, kau akan menjadi salah satu kisahku.
            Lelaki dibawah hujan, yang tak terlupakan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar