Fanficion ini diambil dari novel Melbourne: Rewind
karya Winna Efendi
.
.
Reload
.
Max
Pernah,
nggak, lo merasakan sebuah perasaan yang teramat canggung dan melegakan di saat
bersamaan sekaligus?
That my feeling right now.
She’s here. Dengan terusan satin
berwarna gading selutut, masih dengan rambut ikal panjangnya yang tergerai
hingga ke punggung. Dan, oh, bintik-bintik cokelat muda di wajah ovalnya juga
masih bisa gue lihat.
“Max?”
Suaranya
juga nggak berubah. Satu-satunya yang terlihat berubah dari dia adalah I-pod putih yang menyembul pada tas
selempang kecilnya. Dia sudah nggak menggunakan walkman bututnya lagi, eh?
Gue
tersenyum singkat. Mengangguk samar bermaksud untuk membalas sapaannya dan,
mungkin, memberi kode supaya dia ikut duduk bergabung di sini bersama gue.
“May I…?” Tanyanya ragu dan gue cepat-cepat
mengangguk singkat kemudian menggeser duduk gue, memberikan ruang pada sofa
yang gue duduki supaya dia bisa menyamankan diri duduk di sana.
Sudah
enam bulan semenjak kami berbagi meja dan menyesap kafein bersama di Prudence.
Ingat saat terakhir kali kami melakukan semua ini? Saat itu, saat di mana gue
dan dia bertengkar hebat akibat kecerobohan gue yang kembali menyatakan perasaan gue. Cinta.
“How are you, Laura?”
Setelah
akhirnya Laura kembali ke Prudence saat itu—saat setelah ia berkeliling
beberapa Negara sendirian, gue tahu dia telah memaafkan gue. Kami kembali
bersikap biasa, seperti Max dan Laura sebelumnya. Seolah pernyataan cinta kembali yang gue lontarkan ke dia beberapa
saat sebelumnya tak pernah terjadi.
Tapi,
gue nggak tahu kalau dia akan membawa berita itu.
“Really fine. And you?” ia tersenyum saat
mengucapkannya, membuat gue mau nggak mau juga ikut tersenyum—sulit.
“Seperti
yang lo lihat.” gue menatapnya sekilas. “Gimana Hans?”
Gue
melihat tubuh Laura sedikit menegang. Kemudian, sekali lagi memaksakan sebuah
senyum. Oh, gue benci senyum itu.
“Dia
baik-baik aja. Lagi semangat-semangatnya milih warna untuk wedding party kami nanti.”
Enam
bulan yang lalu, saat ia kembali ke Prudence dengan membawa semua harapan gue
akan dirinya, Laura justru membawa berita yang mampu menyumbat semua aliran
darah yang ada pada tubuh gue. She’s talk
about Hans. Laki-laki yang juga bekerja di tempat yang sama dengan Laura. And she’s talk about their relationship.
Gue
nggak ingat mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman atau
sahabat. Bahkan, Laura pernah menyinggung tentang Olivia—pacar Hans. Tapi, hari
itu dia mengatakannya. Hans yang hadir di antara kesepiannya menjelajahi
beberapa Negara yang, by the way,
dulu adalah tujuan gue bersama Laura. Hans yang perhatian. Hans yang baik. Hans
yang lucu. Serta analogi-analogi lain tentang laki-laki itu.
She’s break my heart. Laura nggak tahu,
betapa saat ia kembali ke hadapan gue, benih-benih harapan itu sudah terlanjur
muncul kembali. Gue mencoba bersabar, membiarkan hubungan kami mengalir
semaunya. Dengan naifnya merasakan bahwa saat itu gue telah merasa cukup.
Tapi
pembicaraan tentang Hans mengacaukannya. Ditambah, saat akhirnya Laura
mengatakan dia dan Hans pacaran. Gue benar-benar nggak bisa lagi merasakan
udara di sekeliling dengan sewajarnya.
“Seminggu
lagi, Max. Datang, ya.”
Gue
mendongak, tersadar dari segala kemelut pikiran gue tentang masa-masa itu.
Laura mengulurkan sebuah kartu berwarna putih susu, dengan pita merah muda yang
cantik tersemat di tengah-tengah permukaannya.
Hans
& Laura tertera di sana.
Gue
menerimanya.
“Ajak
Marly juga, sampaikan salam gue buat dia ya, Max.”
Dan
setelah itu, Laura berdiri. Tanpa sepatah kata, tanpa sedikit pun menoleh lagi,
dia keluar meninggalkan Prudence.
Dan
gue.
Si pathetic yang bahkan merasa terejek
hanya karena sebuah kartu undangan pernikahan yang ada dalam genggaman gue saat
ini.
…
Laura
Berbicara
soal pernikahan, akan selalu membuatku gugup. Apalagi saat-saat di mana dirimu
menyebarluaskan seluruh undangan untuk para kerabat dekat maupun
kenalan-kenalan yang nantinya diharapkan hadir pada pernikahan itu sendiri.
Biasanya, saat aku menerima undangan pernikahan dari kenalanku, aku akan
tersenyum dan perasaanku menghangat tanpa sadar karena melihat binaran mata si
pemberi undangan yang notabene adalah calon pengantin. Mereka tak akan bisa
berhenti tersenyum karena salah satu tujuan terbesar dalam hidup mereka itu
akan terlaksana sebentar lagi.
Tapi
aku berbeda.
Saat
aku memberikan kartu bersemat pita cantik itu kepada Max tadi, aku tak
merasakan kebahagian serta rasa hangat yang membuat matamu berbinar itu. Yang
ada, hanya rasa gugup dan takut dalam waktu bersamaan. Entah mengapa, tapi
kurasa ini bukanlah ide yang bagus.
Sudah
laam kami tidak bertemu. He’s change.
Secara fisik. Ia lebih terlihat dewasa, tetapi sama cueknya. Bahkan aku tidak
pernah menebak apa keinginannya selain meraih mimpi bersama cahaya-cahayanya
itu. Max berpacaran dengan Marly, yang dulunya adalah teman Max. She’s witty. And caring. Especially about Max. Kupikir, jika ada
satu wanita yang bisa mendampingi Max selama hidupnya, orang itu adalah Marly.
Yang kudengar, mereka berdua memang belum terlalu lama menjalin hubungan. Tapi
aku bersyukur, Marly yang akhirnya Max pilih.
Setelah
aku.
I don’t know. Aku benar-benar tidak tahu
bagaimana perasaan Max terhadapku sekarang. Dulu, saat akhirnya aku memutuskan
untuk memaafkannya, aku hanya ingin hubunganku dengannya kembali seperti biasa.
As usual. As friend. Just friend.
Yang
ia tidak tahu, selama kami berpisah, Hans masuk lebih dalam ke dalam
kehidupanku. Aku memang tak pernah menyangka akan ada perasaan lebih dari
sekadar teman atau rekan kerja antara aku dan Hans. But, he’s not bad. Hans mirip Evan. Dan itu sudah lebih dari cukup
untuk mengatasi sedikit rasa patah hatiku yang tertinggal terhadap Evan. I know, Evan sudah hidup bahagia bersama
Cee. Aku hanya ingin mencari sisa kebahagiaan itu. Untukku.
Aku
melangkah dengan cepat meninggalkan Prudence. Meninggalkan Max tanpa sepatah
kata apapun lagi. Tiba-tiba saja aku merasa takut berada lebih lama bersama
Max. Ada sesuatu yang membuatku meragu.
Tatapannya.
Tatapan
yang masih sama seperti dulu. Seperti tatapan pertamanya di depan kelas saat
aku meminta walkman-ku kembali, saat pertama kali kami mengobrol di Prudence,
saat pertama kali ia menyatakan perasaannya padaku, dan saat pertama kali kami
kembali bertemu di depan stasiun radio tempatku bekerja.
Sekeras
apapun aku mengabaikan Max, satu-satunya yang tak bisa kuabaikan adalah tatapan
itu.
Tatapan
yang penuh cinta.
…
Max
I’m
the sucking stupid men in the world.
Karena
tiba-tiba saja gue ingin membatalkan pernikahan Laura.
Am I asshole? Call me like that as much
as you want. I don’t care.
Gue
nggak pernah begitu menginginkan sesuatu seperti gue menginginkan Laura. She’s everything. Dia itu seperti
sesuatu yang melengkapi semua cahaya-cahaya yang selama ini gue kagumi. Laura
adalah pelengkapnya.
Dan
kini dia akan menikah.
Yang
Laura nggak tahu, selama tiga bulan gue berpacaran dengan Marly, gue selalu
mencari-cari diri Laura di sana. Yang nggak pernah gue bilang pada Marly, bahwa
sesungguhnya gue nggak pernah sekalipun merasakan perasaan yang lebih dari
seorang sahabat terhadap dia.
Karena
yang gue tahu, cuma Laura yang sampai saat ini memiliki hati gue.
“Wow,
kalau gue jadi Laura, gue bakal merasa menjadi orang yang paling beruntung sedunia,
Max.”
Marly
menatap undangan pernikahan Laura dengan mata berbinar. Dulu, gue selalu
menyukai segala sikap Marly yang cuek and
really cool. Tapi, entah mengapa, kini gue muak.
Karena
nggak mendapat jawaban, Marly memalingkan pandangannya untuk menatap gue. Dia
terkekeh pelan.
“Tapi,
gue juga beruntung punya lo.”
Setelah
itu dia kembali memandangi kartu undangan itu dengan antusias. Gue nggak tahu,
apa itu adalah sebuah kode buat gue supaya gue juga cepat-cepat menikahi dia
atau bagaimana. Tapi, oh, c’mon! She’s
don’t know yang gue rasakan sekarang malah ingin cepat-cepat membatalkan
pernikahan orang.
Gue
memang jahat. Nggak seharusnya gue memerlakukan Marly seperti ini. Tapi, gue
nggak tahu harus berbuat apalagi.
Besok
adalah hari di mana Laura melangsungkan pernikahannya. Bersama Hans.
Hans.
Bukan Max.
Dan
masih belum ada yang bisa merubah pikiran gue. Betapa inginnya gue menggagalkan
pernikahan itu.
Gue
butuh kafein. Dengan cepat gue bangkit dari sofa besar di apartemen Marly dan
melangkah menuju pintu. Marly memanggil gue.
“Mau
ke mana, Max?”
“Prudence.”
“Ah,
ikut—“
“—not now.” Gue memotong ucapan Marly. Dia
mengangkat alisnya dan menatap gue heran. “Please.
I need more time to myself.”
Marly
terdiam. Dan gue meneruskan langkah.
…
Laura
I
need more time to myself.
Ada yang bilang,
kalau seorang perempuan akan menikah, maka ia harus dikurung di rumah selama
beberapa hari. Semacam, diasingkan dari dunia luar. Istilah daerahnya; dipingit.
But, apa yang sedang kulakukan sekarang?
Berjalan menyusuri pusat kota Melbourne dengan modal sweater tipis di udara malam musim gugur. Ternyata yang kubutuhkan
bukanlah mengasingkan diri dari dunia luar, tetapi mengasingkan diri dari
keluargaku.
Prepare for … tomorrow.
Melbourne
di malam hari serasa tidak seindah dulu. Atau hanya perasaanku saja? Entahlah,
aku seperti melihat sebuah lukisan kosong tak bernyawa. Hanya cahaya-cahaya
lampu yang menerangi kegelapan itu. Seolah hanya cahaya itu yang hidup. Tak ada
lagi yang lain.
Jika
aku mengatakannya pada Max, ia pasti setuju. Ia mungkin akan terus mengoceh
lebih jauh tentang cahaya dan keindahannya. Tentang lampu-lampu kota Melbourne
yang terlihat hidup, atau beberapa lampu baru yang dipasang di atap kamarnya.
I miss that time. Dan tanpa sadar,
langkah kaki membawaku ke Prudence.
Aku
menyusuri coffee shop sederhana itu
seorang diri, malam hampir larut dan sudah tidak banyak pengunjung yang datang.
Aku menuju kursi yang biasa kutempati bersama Max. Memesan minuman, kemudian
merenung di sana.
Apakah
Hans adalah pilihan yang benar?
Pikiranku
mengatakan iya, tetapi hatiku seolah menyangkal. Kalau benar mengapa aku seragu
ini untuk menghadapi hari esok? Kalau salah, apa yang membuatku ragu?
“Laura?”
Sebuah
suara berat yang tak asing membuatku mendongak.
Max
berdiri di sana.
“Hei,
what are you doing here?” ia bertanya
pelan seraya melangkah dan duduk pada kursi di hadapanku.
Aku
menatapnya. “Uhm … insom?”
Max
tidak tertawa. Tidak juga merengut. Ekspresinya tak terbaca. “Huh?”
Aku
meringis pelan. “I don’t know, Max.”
Minuman
pesanan Max datang, dan kami kembali terdiam. Kini, tidak ada proyek yang
tengah kami kerjakan seperti saat kami berdua ke Prudence sewaktu itu. Tidak
ada lagi Max dan Laura yang tengah sibuk pada kegiatannya sendiri.
Tapi
aku merasa de javu.
“Ra,
why you never talk to me about Hans?
Tentang hubungan kalian setelah lo pergi dulu…”
Aku
mendengar suara Max merendah, dan lebih serius. Tetapi cukup untuk membuat
perasaanku kalang kabut. Why? Kenapa?
“I don’t know.” Jawabku akhirnya. Aku
memang tidak tahu, kan?
“Stop act like you never know something,
Laura. Berhenti bertingkah semuanya fine-fine
aja.” Ucapnya lagi. Matanya menatapku tajam.
“No, Max. Tapi memang nggak ada apa-apa.”
Max
menghela napas gusar, dan aku melihat sebelah tangannya terkepal erat di sisi
tubuhnya.
“Boleh
aku ngomong sesuatu, Ra? I promise this
is the last I’m talking about us. Aku janji ini terakhir kali aku
mengungkit kita.”
Ada
sensasi hangat yang kurasakan saat mendengar Max memanggilku dengan sebutan
aku-kamu. It’s like … we’re back to our past. Yang mana, saat
itu semua masih terasa mudah. Aku dan Max. Kami masih saling bebas melakukan
apapun tanpa harus takut menyakiti satu sama lain.
Aku
mengangguk, dan Max melanjutkan.
“Do you still love me, Ra?” Ia bertanya
dengan pelan. “Aku tahu besok kamu menikah, tapi aku bisa mati karena ini. I’ve died, Ra. Apapun jawaban kamu bakal
aku terima.” ia menatapku teduh.
Do you still love him? Apa aku masih
mencintai Max?
“Because I love you. I always love you,
kalau kamu mau tahu.” Max kembali melanjutkan. Pikiranku masih saja
melayang-layang. Apakah aku masih mencintai Max?
Shit.
“Tapi
besok aku menikah, Max.” ujarku akhirnya. Menjawab dengan pilihan jawaban yang
lain.
Sinar
dalam kedua bola mata Max seolah meredup. “It mean
… no?” Tanyanya berbisik.
“I don’t know, Max. Memangnya kalau aku
jawab masih, kita bisa apa? Kamu nggak akan membatalkan pernikahan aku, kan?”
balasku dengan suara kacau.
Memangnya
apa yang akan berubah kalau aku menjawab ‘iya’? Max tidak akan mungkin berpikir
untuk membatalkan pernikahanku. That’s
impossible.
Tapi,
ucapan Max selanjutnya membuat kedua netraku melebar.
“I’ll do that if you say yes.”
Dan,
aku seperti menemukan jawaban semua keraguanku.
“I’ll do that, Laura. Everything. Kalau pada akhirnya kita bisa … kembali.” Max kini
meraih kedua tanganku. Hangat. Seperti dulu.
Dan
segalanya terasa jelas.
Aku
sadar, bahwa selama ini aku selalu mencari kenyamanan pada setiap tempat yang
kukunjungi. Aku selalu mencari sebuah tempat di mana nantinya dapat kusebut
rumah. Bukan sekadar tempat untuk pulang, tapi di mana kau akan tinggal.
Dan
ternyata, bagiku Max adalah jawabannya.
“Acara
akan dimulai jam delapan pagi besok. Dan, kamu harus datang sebelum jam
delapan.” ucapku akhirnya. Max tersenyum.
“Then … we’ll go.”
.
.
Finish
seerruuu :D
BalasHapusHaha thanku, Ilma x))
BalasHapus