Followers

Selasa, 14 Januari 2014

Reload (Melbourne: Rewind Fanfiction)


Fanficion ini diambil dari novel Melbourne: Rewind karya Winna Efendi
.
.
Reload
.
.
Max

            Pernah, nggak, lo merasakan sebuah perasaan yang teramat canggung dan melegakan di saat bersamaan sekaligus?
            That my feeling right now.
            She’s here. Dengan terusan satin berwarna gading selutut, masih dengan rambut ikal panjangnya yang tergerai hingga ke punggung. Dan, oh, bintik-bintik cokelat muda di wajah ovalnya juga masih bisa gue lihat.
            “Max?”
            Suaranya juga nggak berubah. Satu-satunya yang terlihat berubah dari dia adalah I-pod putih yang menyembul pada tas selempang kecilnya. Dia sudah nggak menggunakan walkman bututnya lagi, eh?
            Gue tersenyum singkat. Mengangguk samar bermaksud untuk membalas sapaannya dan, mungkin, memberi kode supaya dia ikut duduk bergabung di sini bersama gue.
            May I…?” Tanyanya ragu dan gue cepat-cepat mengangguk singkat kemudian menggeser duduk gue, memberikan ruang pada sofa yang gue duduki supaya dia bisa menyamankan diri duduk di sana.
            Sudah enam bulan semenjak kami berbagi meja dan menyesap kafein bersama di Prudence. Ingat saat terakhir kali kami melakukan semua ini? Saat itu, saat di mana gue dan dia bertengkar hebat akibat kecerobohan gue yang kembali menyatakan perasaan gue. Cinta.
            How are you, Laura?”
            Setelah akhirnya Laura kembali ke Prudence saat itu—saat setelah ia berkeliling beberapa Negara sendirian, gue tahu dia telah memaafkan gue. Kami kembali bersikap biasa, seperti Max dan Laura sebelumnya. Seolah pernyataan cinta kembali yang gue lontarkan ke dia beberapa saat sebelumnya tak pernah terjadi.
            Tapi, gue nggak tahu kalau dia akan membawa berita itu.
            Really fine. And you?” ia tersenyum saat mengucapkannya, membuat gue mau nggak mau juga ikut tersenyum—sulit.
            “Seperti yang lo lihat.” gue menatapnya sekilas. “Gimana Hans?”
            Gue melihat tubuh Laura sedikit menegang. Kemudian, sekali lagi memaksakan sebuah senyum. Oh, gue benci senyum itu.
            “Dia baik-baik aja. Lagi semangat-semangatnya milih warna untuk wedding party kami nanti.”
            Enam bulan yang lalu, saat ia kembali ke Prudence dengan membawa semua harapan gue akan dirinya, Laura justru membawa berita yang mampu menyumbat semua aliran darah yang ada pada tubuh gue. She’s talk about Hans. Laki-laki yang juga bekerja di tempat yang sama dengan Laura. And she’s talk about their relationship.
            Gue nggak ingat mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman atau sahabat. Bahkan, Laura pernah menyinggung tentang Olivia—pacar Hans. Tapi, hari itu dia mengatakannya. Hans yang hadir di antara kesepiannya menjelajahi beberapa Negara yang, by the way, dulu adalah tujuan gue bersama Laura. Hans yang perhatian. Hans yang baik. Hans yang lucu. Serta analogi-analogi lain tentang laki-laki itu.
            She’s break my heart. Laura nggak tahu, betapa saat ia kembali ke hadapan gue, benih-benih harapan itu sudah terlanjur muncul kembali. Gue mencoba bersabar, membiarkan hubungan kami mengalir semaunya. Dengan naifnya merasakan bahwa saat itu gue telah merasa cukup.
            Tapi pembicaraan tentang Hans mengacaukannya. Ditambah, saat akhirnya Laura mengatakan dia dan Hans pacaran. Gue benar-benar nggak bisa lagi merasakan udara di sekeliling dengan sewajarnya.
            “Seminggu lagi, Max. Datang, ya.”
            Gue mendongak, tersadar dari segala kemelut pikiran gue tentang masa-masa itu. Laura mengulurkan sebuah kartu berwarna putih susu, dengan pita merah muda yang cantik tersemat di tengah-tengah permukaannya.
            Hans & Laura tertera di sana.
            Gue menerimanya.
            “Ajak Marly juga, sampaikan salam gue buat dia ya, Max.”
            Dan setelah itu, Laura berdiri. Tanpa sepatah kata, tanpa sedikit pun menoleh lagi, dia keluar meninggalkan Prudence.
            Dan gue.
            Si pathetic yang bahkan merasa terejek hanya karena sebuah kartu undangan pernikahan yang ada dalam genggaman gue saat ini.
Laura

            Berbicara soal pernikahan, akan selalu membuatku gugup. Apalagi saat-saat di mana dirimu menyebarluaskan seluruh undangan untuk para kerabat dekat maupun kenalan-kenalan yang nantinya diharapkan hadir pada pernikahan itu sendiri. Biasanya, saat aku menerima undangan pernikahan dari kenalanku, aku akan tersenyum dan perasaanku menghangat tanpa sadar karena melihat binaran mata si pemberi undangan yang notabene adalah calon pengantin. Mereka tak akan bisa berhenti tersenyum karena salah satu tujuan terbesar dalam hidup mereka itu akan terlaksana sebentar lagi.
            Tapi aku berbeda.
            Saat aku memberikan kartu bersemat pita cantik itu kepada Max tadi, aku tak merasakan kebahagian serta rasa hangat yang membuat matamu berbinar itu. Yang ada, hanya rasa gugup dan takut dalam waktu bersamaan. Entah mengapa, tapi kurasa ini bukanlah ide yang bagus.
            Sudah laam kami tidak bertemu. He’s change. Secara fisik. Ia lebih terlihat dewasa, tetapi sama cueknya. Bahkan aku tidak pernah menebak apa keinginannya selain meraih mimpi bersama cahaya-cahayanya itu. Max berpacaran dengan Marly, yang dulunya adalah teman Max. She’s witty. And caring. Especially about Max. Kupikir, jika ada satu wanita yang bisa mendampingi Max selama hidupnya, orang itu adalah Marly. Yang kudengar, mereka berdua memang belum terlalu lama menjalin hubungan. Tapi aku bersyukur, Marly yang akhirnya Max pilih.
            Setelah aku.
            I don’t know. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana perasaan Max terhadapku sekarang. Dulu, saat akhirnya aku memutuskan untuk memaafkannya, aku hanya ingin hubunganku dengannya kembali seperti biasa. As usual. As friend. Just friend.
            Yang ia tidak tahu, selama kami berpisah, Hans masuk lebih dalam ke dalam kehidupanku. Aku memang tak pernah menyangka akan ada perasaan lebih dari sekadar teman atau rekan kerja antara aku dan Hans. But, he’s not bad. Hans mirip Evan. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk mengatasi sedikit rasa patah hatiku yang tertinggal terhadap Evan. I know, Evan sudah hidup bahagia bersama Cee. Aku hanya ingin mencari sisa kebahagiaan itu. Untukku.
            Aku melangkah dengan cepat meninggalkan Prudence. Meninggalkan Max tanpa sepatah kata apapun lagi. Tiba-tiba saja aku merasa takut berada lebih lama bersama Max. Ada sesuatu yang membuatku meragu.
            Tatapannya.
            Tatapan yang masih sama seperti dulu. Seperti tatapan pertamanya di depan kelas saat aku meminta walkman-ku kembali, saat pertama kali kami mengobrol di Prudence, saat pertama kali ia menyatakan perasaannya padaku, dan saat pertama kali kami kembali bertemu di depan stasiun radio tempatku bekerja.
            Sekeras apapun aku mengabaikan Max, satu-satunya yang tak bisa kuabaikan adalah tatapan itu.
            Tatapan yang penuh cinta.
Max

            I’m the sucking stupid men in the world.
            Karena tiba-tiba saja gue ingin membatalkan pernikahan Laura.
            Am I asshole? Call me like that as much as you want. I don’t care.
            Gue nggak pernah begitu menginginkan sesuatu seperti gue menginginkan Laura. She’s everything. Dia itu seperti sesuatu yang melengkapi semua cahaya-cahaya yang selama ini gue kagumi. Laura adalah pelengkapnya.
            Dan kini dia akan menikah.
            Yang Laura nggak tahu, selama tiga bulan gue berpacaran dengan Marly, gue selalu mencari-cari diri Laura di sana. Yang nggak pernah gue bilang pada Marly, bahwa sesungguhnya gue nggak pernah sekalipun merasakan perasaan yang lebih dari seorang sahabat terhadap dia.
            Karena yang gue tahu, cuma Laura yang sampai saat ini memiliki hati gue.
            “Wow, kalau gue jadi Laura, gue bakal merasa menjadi orang yang paling beruntung sedunia, Max.”
            Marly menatap undangan pernikahan Laura dengan mata berbinar. Dulu, gue selalu menyukai segala sikap Marly yang cuek and really cool. Tapi, entah mengapa, kini gue muak.
            Karena nggak mendapat jawaban, Marly memalingkan pandangannya untuk menatap gue. Dia terkekeh pelan.
            “Tapi, gue juga beruntung punya lo.”
            Setelah itu dia kembali memandangi kartu undangan itu dengan antusias. Gue nggak tahu, apa itu adalah sebuah kode buat gue supaya gue juga cepat-cepat menikahi dia atau bagaimana. Tapi, oh, c’mon! She’s don’t know yang gue rasakan sekarang malah ingin cepat-cepat membatalkan pernikahan orang.
            Gue memang jahat. Nggak seharusnya gue memerlakukan Marly seperti ini. Tapi, gue nggak tahu harus berbuat apalagi.
            Besok adalah hari di mana Laura melangsungkan pernikahannya. Bersama Hans.
            Hans. Bukan Max.
            Dan masih belum ada yang bisa merubah pikiran gue. Betapa inginnya gue menggagalkan pernikahan itu.
            Gue butuh kafein. Dengan cepat gue bangkit dari sofa besar di apartemen Marly dan melangkah menuju pintu. Marly memanggil gue.
            “Mau ke mana, Max?”
            “Prudence.”
            “Ah, ikut—“
            “—not now.” Gue memotong ucapan Marly. Dia mengangkat alisnya dan menatap gue heran. “Please. I need more time to myself.”
            Marly terdiam. Dan gue meneruskan langkah.
Laura

            I need more time to myself.
            Ada yang bilang, kalau seorang perempuan akan menikah, maka ia harus dikurung di rumah selama beberapa hari. Semacam, diasingkan dari dunia luar. Istilah daerahnya; dipingit.
            But, apa yang sedang kulakukan sekarang? Berjalan menyusuri pusat kota Melbourne dengan modal sweater tipis di udara malam musim gugur. Ternyata yang kubutuhkan bukanlah mengasingkan diri dari dunia luar, tetapi mengasingkan diri dari keluargaku.
            Prepare for … tomorrow.
            Melbourne di malam hari serasa tidak seindah dulu. Atau hanya perasaanku saja? Entahlah, aku seperti melihat sebuah lukisan kosong tak bernyawa. Hanya cahaya-cahaya lampu yang menerangi kegelapan itu. Seolah hanya cahaya itu yang hidup. Tak ada lagi yang lain.
            Jika aku mengatakannya pada Max, ia pasti setuju. Ia mungkin akan terus mengoceh lebih jauh tentang cahaya dan keindahannya. Tentang lampu-lampu kota Melbourne yang terlihat hidup, atau beberapa lampu baru yang dipasang di atap kamarnya.
            I miss that time. Dan tanpa sadar, langkah kaki membawaku ke Prudence.
            Aku menyusuri coffee shop sederhana itu seorang diri, malam hampir larut dan sudah tidak banyak pengunjung yang datang. Aku menuju kursi yang biasa kutempati bersama Max. Memesan minuman, kemudian merenung di sana.
            Apakah Hans adalah pilihan yang benar?
            Pikiranku mengatakan iya, tetapi hatiku seolah menyangkal. Kalau benar mengapa aku seragu ini untuk menghadapi hari esok? Kalau salah, apa yang membuatku ragu?
            “Laura?”
            Sebuah suara berat yang tak asing membuatku mendongak.
            Max berdiri di sana.
            “Hei, what are you doing here?” ia bertanya pelan seraya melangkah dan duduk pada kursi di hadapanku.
            Aku menatapnya. “Uhm … insom?”
            Max tidak tertawa. Tidak juga merengut. Ekspresinya tak terbaca. “Huh?”
            Aku meringis pelan. “I don’t know, Max.”
            Minuman pesanan Max datang, dan kami kembali terdiam. Kini, tidak ada proyek yang tengah kami kerjakan seperti saat kami berdua ke Prudence sewaktu itu. Tidak ada lagi Max dan Laura yang tengah sibuk pada kegiatannya sendiri.
            Tapi aku merasa de javu.
            “Ra, why you never talk to me about Hans? Tentang hubungan kalian setelah lo pergi dulu…”
            Aku mendengar suara Max merendah, dan lebih serius. Tetapi cukup untuk membuat perasaanku kalang kabut. Why? Kenapa?
            I don’t know.” Jawabku akhirnya. Aku memang tidak tahu, kan?
            Stop act like you never know something, Laura. Berhenti bertingkah semuanya fine-fine aja.” Ucapnya lagi. Matanya menatapku tajam.
            No, Max. Tapi memang nggak ada apa-apa.”
            Max menghela napas gusar, dan aku melihat sebelah tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya.
            “Boleh aku ngomong sesuatu, Ra? I promise this is the last I’m talking about us. Aku janji ini terakhir kali aku mengungkit kita.”
            Ada sensasi hangat yang kurasakan saat mendengar Max memanggilku dengan sebutan aku-kamu. It’s likewe’re back to our past. Yang mana, saat itu semua masih terasa mudah. Aku dan Max. Kami masih saling bebas melakukan apapun tanpa harus takut menyakiti satu sama lain.
            Aku mengangguk, dan Max melanjutkan.
            Do you still love me, Ra?” Ia bertanya dengan pelan. “Aku tahu besok kamu menikah, tapi aku bisa mati karena ini. I’ve died, Ra. Apapun jawaban kamu bakal aku terima.” ia menatapku teduh.
            Do you still love him? Apa aku masih mencintai Max?
            Because I love you. I always love you, kalau kamu mau tahu.” Max kembali melanjutkan. Pikiranku masih saja melayang-layang. Apakah aku masih mencintai Max?
            Shit.
            “Tapi besok aku menikah, Max.” ujarku akhirnya. Menjawab dengan pilihan jawaban yang lain.
            Sinar dalam kedua bola mata Max seolah meredup.  It mean … no?” Tanyanya berbisik.
            I don’t know, Max. Memangnya kalau aku jawab masih, kita bisa apa? Kamu nggak akan membatalkan pernikahan aku, kan?” balasku dengan suara kacau.
            Memangnya apa yang akan berubah kalau aku menjawab ‘iya’? Max tidak akan mungkin berpikir untuk membatalkan pernikahanku. That’s impossible.
            Tapi, ucapan Max selanjutnya membuat kedua netraku melebar.
            I’ll do that if you say yes.”
            Dan, aku seperti menemukan jawaban semua keraguanku.
            I’ll do that, Laura. Everything. Kalau pada akhirnya kita bisa … kembali.” Max kini meraih kedua tanganku. Hangat. Seperti dulu.
            Dan segalanya terasa jelas.
            Aku sadar, bahwa selama ini aku selalu mencari kenyamanan pada setiap tempat yang kukunjungi. Aku selalu mencari sebuah tempat di mana nantinya dapat kusebut rumah. Bukan sekadar tempat untuk pulang, tapi di mana kau akan tinggal.
            Dan ternyata, bagiku Max adalah jawabannya.
            “Acara akan dimulai jam delapan pagi besok. Dan, kamu harus datang sebelum jam delapan.” ucapku akhirnya. Max tersenyum.
            Thenwe’ll go.”
.
.
Finish

2 komentar: