Judul : What If
Penulis : Morra Quatro
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2015
“Apa yang berbeda itu memang tidak pantas bersama?”
Jupiter bertemu Kamila pertama kali di antara langit siang yang terik dan lapangan basket yang lapang. Si Anal. Senior satu tingkat. Asisten dosen kelas semester pendeknya yang selalu berkeras diri bahwa ia bisa membawa tumpukkan lembar kertas mahasiswa dengan tangan kecilnya.
Sejak pertemuan pertama mereka, perbedaan itu sudah jelas terlihat. Tapi, ada sesuatu tentang Jupiter yang membuat Kamila dengan begitu saja menyerahkan nomor teleponnya di antara sunyi-senyap perpustakaan yang menyesakkan. Sejak saat itu, mereka percaya, bahwa tak apa jika berbeda. Tidak apa-apa selama mereka bersama dan dapat mengatasinya.
Tapi, takdir tak berbicara begitu. Sebab ada beberapa hal yang memang tak bisa disatukan, meski sekuat apa pun dikonvergensikan. Perbedaan itu akan mencari jalan divergennya sendiri.
“This is not going to happen, Jupiter. We’re not going to make it.”
“In the end, only kindness matters.
only kindness matters.”
-----WHAT IF BY MORRA QUATRO-----
Saya punya banyak kata untuk buku ini—dan khususnya, untuk Kak Morra. Tapi, saya akan merangkumnya hingga semua kata-kata itu bisa tersampaikan hanya dengan satu wacana bertitel review ini.
What If adalah karya keempat Kak Morra yang saya baca. Bercerita tentang Kamila, Jupiter, dan perbedaa-perbedaan di sekeliling mereka. Untuk para pembaca setianya, saya yakin, segalanya begitu familier dan tidak asing. Bukan tentang ceritanya, atau alur dan endingnya yang (memang juga) familier. Tapi, tentang suasananya. Tentang bagaimana Kak Morra menulis segala detail dan deskripsi dari setiap diksi yang ia pilih. Saya merasakannya, penulisan Kak Morra yang selalu saya anggap mempunyai magis juga nyawa. Penulisan deskripsi yang membawa emosi dan … breath-taking? Heart-warming? Page-turning? Semuanya. Jika ditanya siapa penulis favorit yang pantas menyandang gelar best story-teller, saya tidak akan ragu untuk menyebut Kak Morra sebagai jawaban.
Seperti ketika Kak Morra menjajah emosi saya dengan Will, Langit, dan Nino, Kak Morra melakukannya lagi di sini melalui Jupiter. Jupiter punya sisi yang berbeda dari ketiga tokoh-tokoh pria Kak Morra sebelumnya. Jupiter lebih bad boy, bukan mahasiswa teladan, selengekan, tapi juga punya cinta yang besar. Saya suka ketika dia menatap Kamila dan segala detail yang ada pada dirinya. Tapi, saya juga suka ketika ia tersenyum jahil ketika nama Kamila dikaitkan dengan kata Si Anal. Memang bukan anal yang itu. Tapi, Jupiter selalu punya hal-hal humoris—yang tentu saja tidak menyinggung—ketika istilah itu disebut.
Ah, ya, cerita ini juga berhasil mengubah segala perspektif saya tentang “tidak mau membaca cerita yang mengandung unsur agamis selain Islam”. Jujur saja, saya orang yang sedikit kencang tentang hal itu. Dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, saya sulit mendapat feel ketika membaca cerita yang tokohnya memiliki kepercayaan di luar kepercayaan saya—maaf. Tapi, entah kenapa What If berbeda. Jupiter berbeda. Saya berhasil jatuh cinta padanya, sealami saya jatuh cinta dengan tokoh-tokoh mengesankan yang lain. Jupiter melakukannya. Kak Morra melakukannya. Jadi, atas segala pelajaran dan perspektif baru yang saya dapat, sudah sepatutnya saya berterima kasih pada Sang Penulis; Terima kasih, Kak Morra.
Sebelum mengutip adegan yang paling saya suka, ada beberapa hal teknis seperti typo, kesalahan penulisan (krabby peaty : krabby patty), kekeliruan pemenggalan (mer-apat : me-rapat), dan kesalahan EYD (tercekat : tersekat). Mungkin, ada beberapa hal yang saya lewatkan, karena keterbatasan akan ketelitian atau terlalu malas untuk mengecek secara detail (karena saya terlampau menikmati ceritanya). Tapi, hanya itu yang saya temukan dan sempat saya catat ;p
So, my favorite part? Ada dua. Pertama, ketika dengan nekatnya Kamila memangkas rambut panjangnya di awal cerita! Demi apa pun, adegan ini langsung saja membuat saya jatuh cinta pada Kamila. Saya suka penggambaran tokoh perempuan yang seperti ini. Kedua, ketika Piter berkata, “Kamila, your hands are small—“ di antara langkah-langkah kakinya menuju loker dosen untuk menaruh berkas-berkas tugas yang seharusnya menjadi tugas Kamila. Saya selalu tersenyum mengingat adegan ini. Dan adegan-adegan permintaan Piter membantu Kamila membawa berkas-berkasnya yang lain. Mungkin, ini klise, tapi Kak Morra mengemasnya dengan berbeda dan … berkesan :)
Saya tidak akan mengomentari tentang ending. Sebab, bagian inilah yang selalu saya suka dari tulisan-tulisan Kak Morra. And, saya tidak akan pernah bosan untuk bilang: selalu ditunggu cerita-cerita cerdas yang lainnya, Kak!
4 of 5 stars for What If
love,
hidya